Konsep Wahdatul Wujud Ibnu ‘Arabi: Antara Mistik dan Rasionalitas

Jumat, 11 Juli 2025 | 12:59 WIB Last Updated 2025-07-14T03:10:00Z


Innayah Haiqa Adriyan

Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka


Tasawuf  tentu  saja  berkaitan  dengan  pemeliharaan  akhlak,  pembangunan  rohani kesederhanaan dalam hidup dan menjauhi hal-hal yang tercela. Hal ini tentunya dapat membantu umat  dalam  mencapai tujuannya  dalam  hidup  di  dunia.  Oleh  karena  itu,  ilmu  tasawuf  dapatdipelajari oleh siapapun yang ingin membangun moral yang baik serta kembalinya diri pada Tuhan dalam  kondisi  suci.  Dasarnya  tasawuf  adalah  latihan  dalam  mempelajari  akhlak  di kehidupansehari-hari. Islam sebagai agama yang tentunya menganggap pentingnya implementasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut tentunya menjadi partner bagi tasawuf untuk kemudian masuk dalamkhazanahIslam.


Dalam khazanah pemikiran Islam klasik, menjabarkan pertemuan antara dimensi filosofis yang bercorak rasional, juga mengandung dimensi spiritual yang transenden. Konsep tersebut penulis dapatkan dari seorang filsuf sekaligus sufi besar dari dunia Islam yang berasal dari Cordoba, Spanyol bernama Ibnu Arabi.


Syaikh Muhyi al Din Muhammad Ibnu Ali, umumnya dikenal sebagai Ibnu Arabi, dilahirkan di Murcia (sebuah kota di Spanyol Tenggara) pada tahun 560 H (1165 M). Dia dikenal di Barat sebagai Ibnu al Arabi, dan di Spanyol sebagai Ibnu Suraqa. Akan tetapi di Timur dia dikenal sebagai Ibnu Arabi tanpa “al” untuk membedakannya dengan Abu Bakar, seorang Qadi di Seville yang juga terkenal dengan sebutan Ibnu al Arabi (Husaini, 1977: 2) . .menempati posisi yang sangat menonjol sebagai tokoh sufi-filosof yang mengusung doktrin metafisis paling kontroversial: Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud). Konsep ini menyatakan bahwa hanya ada satu realitas sejati, yaitu Tuhan, dan segala sesuatu selain-Nya hanyalah manifestasi atau tajalli dari wujud Ilahi. Bagi Ibnu ‘Arabi, segala bentuk eksistensi di alam semesta ini tidak memiliki keberadaan mandiri, melainkan merupakan refleksi dari Wujud Mutlak, yaitu Allah SWT.


Namun, doktrin ini tidak diterima secara seragam oleh berbagai mazhab dalam Islam. Sebagian ulama, seperti Ibn Taymiyyah dan kelompok salafiyah, menolak keras ajaran ini karena dianggap menyerempet panteisme dan mengaburkan batas antara Khalik dan makhluk. Sebaliknya, mazhab-mazhab sufi seperti Naqsyabandiyah dan Qadiriyah justru mengadopsi dan mengembangkan konsep ini sebagai dasar spiritualitas mereka. Bahkan dalam filsafat Hikmah, tokoh seperti Mulla Shadra mengembangkan konsep ini lebih lanjut dalam kerangka rasional-metafisik.


Dari sudut pandang psikologi transpersonal dan psikologi tasawuf, Wahdatul Wujud juga memiliki implikasi mendalam. Ibnu ‘Arabi memandang jiwa manusia (nafs) sebagai cermin Tuhan, dan perjalanan spiritual adalah proses penyucian diri untuk menyadari kesatuan eksistensial dengan Sang Pencipta. Dalam kerangka ini, konsep “kecerdasan spiritual” menjadi lebih penting daripada kecerdasan intelektual, karena hanya melalui penyatuan batiniah dengan Tuhan seseorang dapat mencapai kedamaian dan makna hidup yang sejati.


Dengan demikian, artikel ini akan mengkaji konsep Wahdatul Wujud Ibnu ‘Arabi dari tiga perspektif utama: (1) dimensi mistik dan spiritualitasnya, (2) logika dan rasionalitas filsafat yang mendasarinya, serta (3) respons dan penerimaan dari berbagai mazhab Islam. Kajian ini juga akan mengaitkan pemikiran Ibnu ‘Arabi dengan pendekatan psikologi spiritual kontemporer, guna menunjukkan relevansi doktrin ini dalam memahami dinamika jiwa dan pencarian makna eksistensial manusia modern.


Penelitian ini tentang Wahdatul Wujud Ibnu ’Arabi menggunakan pendekatan kualitatif. Metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis pemikiran Ibnu ’Arabi secara mendalam melalui datadata non numerik, seperti teks, dokimen, dan karya-karya ilmiah. Dengan metode studi pustaka (library research). Data dikumpulkan dari literatur primer (karya Ibnu ’Arabi sendiri) dan sekunder yang relevan. Studi Pustaka penelitian, membandingkan, dan menganalisis berbagai interpretasi dan kritik teerhadap doktrin Wahdatul Wujud. Analisis dilakukan secara deskriptif dan komparatif untuk mengidentifikasi titik temu dan perbedaan antara kedua pendekatan.


Dalam membahas Wahdatul Wujud ada baiknya bila diungkapkan lebih dahulu tentang system pemikiran filsafat mistis Ibnu Arabi. Pemikiran ini tentang metafisika (Ma Ba ‘da al Thaiah). Menurut Ibnu Arabi, Allah adalah awal ma’alim yang empat, yang tidak ada lagi suatu ma’lum dibelakangnya. Dia itulah yang disebut dengan al Wujud al Muthlaq, sebab keberadaannya tidak disebabkan oleh yang lain, dan wujudnya bukanlah selain Dzat-Nya itu sendiri (wa wujuduhu laisa ghoiru dzatihi). 


Ma’lum kedua adalah hakekat universal yang ada pada Tuhan dan pada alam semesta. Hakikat ini bisa disebut qidam, bila yang dimaksud adalah yang maujud tanpa permulaan dan maujud tanpa ada yang mendahuluinya. Dan hakikat ini bisa disebut Haditst apabila yang dimaksud adalah yang maujud setelah kejadian yaitu apa-apa selain Allah Ta’ala.


Ma’lum ketiga adalah alam semesta yang terdiri dari apa-apa yang ada di bumi dan di langit dan apa-apa yang tercakup dalam keduanya selain manusia. Ma’lum keempat adalah manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang juga disebut dengan alam kecil (mikro kosmos). Sedang tiga ma’alim sebelumnya disebut dengan alam besar (makro kosmos) 


Konsep Wahdatul Wujud adalah bahwa Yang Ada hanyalah Wujud Yang Satu, semua alam semesta ini adalah manifestasi dari Yang Satu itu. Wujud Yang Satu itu adalah Allah Ta’ala. Yang Satu itu mencakup atas semua fenomena yang ada dan merupakan sumber daya akal yang memancar keseluruhan alam semesta. Dalam konteks ini Dia disebut al Hakekat al Muhammadiah. Yang Satu itu adalah sumber dari kosmos yang mengatur alam semesta, maka Dia disebut Jiwa Universal. Yang Satu itu menampakkan perbuatannya pada masing-masing wujud (mikro) yang ada di alam semesta, maka dia disebut dengan Tubuh Universal. Yang Satu itu bila dilihat dari keberadaanya sebagai satu jauhar yang menghadap pada seluruh bentuk-bentuk kejadian maka dia berada dalam bentuk al haba’.


Secara bahasa, Wahdatul Wujud terbentuk dari dua kata: "Wahdah" yang berarti tunggal atau kesatuan,  dan  "Al-Wujud"  yang  bermakna  wujud.  Dengan  demikian,  Wahdatul  Wujud  dapat diartikan  sebagai  kesatuan  wujud,  yang  merujuk  pada  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  pemilik kesempurnaan wujud. Tuhan menampakkan diri-Nya dalam alam semesta, sehingga segala sesuatu yang ada hanyalah manifestasi dari wujud-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat eksis tanpa kehadiran-Nya. Pemahaman mengenai istilah "Wujud" sendiri memiliki dua perbedaan mendasar. Pertama, "Wujud Mutlak," yaitu gagasan tentang eksistensi yang mandiri dan tidak bergantung pada apapun, yang merujuk pada eksistensi Tuhan. Kedua, "Wujud Majazi," yang menjelaskan bahwa segala sesuatu memiliki wujud karena ada yang mewujudkannya, yaitu Tuhan.


Wahdatul Wujud adalah istilah yang populer, terutama dalam dunia tasawuf Islam. Istilah ini merujuk pada paham atau aliran yang dikembangkan oleh tokoh sufi terkenal, Ibnu Arabi.Meskipun Ibnu Arabi tidak secara langsung menggunakan istilah "Wahdatul Wujud" dalam karya-karyanya, konsep ini sangat terkait dengan pemikirannya. Dalam kitabnya, Fushush  al-Hikam, syair-syairnya mengandung ungkapan yang mengindikasikan adanya kesatuan wujud, yang menjadi dasar bagi pemahaman Wahdatul Wujud. Dalam SyairnyaIbnu Arabi berkata: “Yang Haq itu adalah makhluk dari satu sisi, maka camkanlah baik-baik Dia bukan pula makhluk di sisi lainnya, maka ingatlah baik-baik Baik dalam jamak (kombinasi) persatuannya maupun dalam farqu (keterpisahannya) esensi itu Tunggal Namun esensi itu juga jamak, hingga tidak kekal, dan tidak pula tertinggal”.


Menurut Said Aqil Siroj, syair-syair Ibnu Arabi dengan jelas mencerminkan keyakinannya pada  filsafat  tasawuf  Wahdatul  Wujud.  Dalam  pengalaman  spiritualnya  (Dzuq),  Ibnu  Arabi menegaskan bahwa hanya Allah yang benar-benar ada, sebagai Wujud yang Haq dan Mutlak, bahkan sebagai hakikat dari seluruh wujud itu sendiri. Ia menolak gagasan bahwa alam semesta memiliki wujud eksternal yang berdiri sendiri, dengan segala penampakan lahiriahnya. Baginya, hanya ada satu wujud hakiki, yaitu Allah Ta'ala, Yang Maha Haq. 


Wahdatul Wujud,diyakini  sebagai  pencapaian  tertinggi  dalam  tauhid  oleh  kaum  sufi. Namun sebagian para sufi juga melihatnya sebagai kemusyrikan karenamengimplikasikan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan, sebuah penyamaan antara Tuhan dan makhluk yang menodai konsep tauhid yang seharusnya memuliakan keesaan Tuhan.Para filsuf juga menolak konsep ini, dengan alasan bahwa pernyataan-pernyataan yang mendasarinya tidak cukup kuat untuk membuktikan kebenarannya dan karena itu dianggap tidak valid. Pemikiran Ibnu ‘Arabi sangat dipengaruhi oleh pengalaman mistik dan intuisi batiniah (kasyf), yang menjadi dasar utama dalam membangun doktrin Wahdatul Wujud. Pengalaman mistik ini bukan sekadar pemikiran rasional, melainkan hasil dari penglihatan batin yang mendalam, yang memungkinkan pemahaman tentang kesatuan hakiki antara Tuhan dan ciptaan-Nya.


Dengan demikian, Wahdatul Wujud merupakan sintesis antara pengalaman mistik dan refleksi filosofis, yang disebut tasawuf falsafi. Walaupun berakar pada pengalaman mistik, Ibnu ‘Arabi menggunakan logika filsafat untuk menjelaskan dan mengartikulasikan konsep Wahdatul Wujud. Ia membedakan antara wujud mutlak (Tuhan) dan wujud relatif (alam semesta), serta menjelaskan tingkatan-tingkatan wujud (martabat ahadiyah, wahidiyah, dan tajalli syuhudi) sebagai cara Tuhan menampakkan diri dalam realitas yang beraneka rupa. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Wahdatul Wujud tidak hanya sekadar pengalaman spiritual, tetapi juga memiliki struktur filosofis yang sistematis dan rasional. 


Konsep Wahdatul Wujud menimbulkan kontroversi terutama dari kalangan ulama ortodoks yang menganggapnya berpotensi mengarah pada panteisme atau mengaburkan batas antara Tuhan dan makhluk. Penolakan ini muncul karena perbedaan struktur ontologis dan kekhawatiran terhadap penyimpangan akidah, di mana Wahdatul Wujud dianggap mengancam kemurnian tauhid yang bersifat transenden dan eksklusif. Para kritikus menegaskan pentingnya menjaga perbedaan antara pencipta dan ciptaan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman yang berbahaya secara teologis.


Dengan bentuk lain, filsafat ini bisa dijelaskan sebagai berikut: Makhluk dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan, sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud, sekiranya Tuhan tidak ada. Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki. Yang dijadikan hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud diluar dirinya yaitu Tuhan. Dengan demikian yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Tuhan dan wujud yang dijadikan ini pada hakikatnya bergantung pada wujud Tuhan. Yang dijadikan sebenarnya tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah. Dengan demikian hanya ada satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Wujud selain dari wujud Tuhan adalah wujud bayangan. 


Menurut Ibnu Arabi, hanya ada satu realitas dalam eksistensi. Realitas ini kita pandang dari dua sudut yang berbeda, pertama kita namakan haq, apabila kita pandang haq itu sebagai Essensi dari semua fenomena dan kedua khalq, apabila kita pandang sebagai fenomena yang memanifestasikan Essensi itu. Haq dan halq, Yang Satu dan Yang Banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek subjektif dari satu realitas, ia adalah satu kesatuan nyata tapi ragam dalam empiris. Realitas ini adalah Tuhan. Ibnu Arabi berkata: “Apabila engkau pandang Dia melalui Dia, maka kesatuan itu menghilang”. Didalam sajaknya, Ibnu  Arabi menulis dalam sajaknya, Ibnu Arabi menulis:


“Dia puja-puji saya dan saya puja-puji Dia. Dan Dia sembah saya dan saya sembah Dia. Dalam satu keadaan saya akui Dia. Dan di dalam a’yan saya tolak Dia. Dia tahu saya dan saya tidak ketahui Dia. Dan saya ketahui Dia dan pandang Dia” (Affifi, 1989: 28). Di dalam Fushush al Hakim, Ibnu Arabi berkata: “Kita untuk Dia seperti argumen yang kita tetapkan dan kita untuk kami. Tidak ada bagi-Nya selain kejadianku, maka kita bagi Dia seperti kita bersama kami. Maka aku punya dua wajah, Dia dan aku, dan tidak ada bagi-Nya aku dengan Aku. Akan tetapi dalam diri saya tampak Dia, dan kita bagi Dia semisal aku”.


Meski kontroversial, Wahdatul Wujud diterima dan dikembangkan oleh banyak kalangan tasawuf dan filsuf Islam, termasuk dalam mazhab Sunni dan Syiah. Pemikiran ini juga berpengaruh pada tokoh-tokoh seperti Al-Hallaj dan Mulla Sadra, yang mengembangkan konsep serupa dengan penekanan pada kesatuan eksistensi dan relasi kosmik antara Tuhan dan manusia. Dalam tradisi tasawuf falsafi, Wahdatul Wujud menjadi landasan bagi pemahaman spiritual yang mendalam dan dialog antara mistisisme dan filsafat.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Konsep Wahdatul Wujud Ibnu ‘Arabi: Antara Mistik dan Rasionalitas

Trending Now

Iklan

iklan