Cahaya Hati: Manifestasi dari Kesejahteraan Psikologis dalam Psikologi Tasawuf

Rabu, 09 Juli 2025 | 10:59 WIB Last Updated 2025-07-14T03:01:13Z

Muhammad Sultan Harits, Muhammad Abdul Halim Sani Program Studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka


Di tengah berkembangnya zaman dengan sangat pesat dan cepat, menemukan kesejahteraan psikologis menjadi bekal utama untuk menghadapi segala lika liku yang dihadapi. Psikologi kontemporer telah mengemukakan kemajuan dalam penelitian untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat memberikan kontribusi positif terkait kesehatan mental. Berbagai pendekatan, mulai dari kognitif-behavioral hingga humanistik, terus berkembang untuk menjawab kebutuhan ini. Namun, seiring dengan evolusi pemahaman kita tentang manusia seutuhnya, disadari bahwa dimensi pengalaman batin yang mendalam, seringkali bersifat spiritual dan transenden, memiliki peran yang tak kalah penting (Rahman 2024).


Sejalan dengan kesadaran ini, munculah cabang-cabang psikologi yang secara tegas mengintegrasikan aspek spiritual, seperti psikologi agama yang meneliti dampak keyakinan dan praktik spiritual terhadap jiwa manusia. Bahkan, dalam psikologi positif, konsep seperti makna hidup, self-transcendence, dan bersyukur telah diakui sebagai pilar penting bagi flourishing atau keberfungsian optimal (Abbas 2025). Ini menunjukkan adanya jembatan yang kokoh antara ranah psikologi dan spiritualitas, bukan lagi sekat yang memisahkan.


Dalam konteks inilah, kekayaan tradisi seperti psikologi tasawuf menawarkan perspektif yang sangat relevan dan mendalam. Tasawuf, sebagai dimensi terkhusus dalam Islam, berfokus pada perjalanan internal individu untuk mencapai pemurnian jiwa (tazkiyatun nafs) dan kedekatan dengan Ilahi. Inti dari ajaran tasawuf adalah perhatian mendalam terhadap kondisi hati (qalb), yang diyakini sebagai pusat kesadaran spiritual, emosi, dan intuisi manusia (Sajari 2015). Hati, dalam pandangan tasawuf, bukanlah sekadar organ biologis, melainkan sarana utama bagi transformasi batin dan pengalaman transenden (Anwar 2017).


Para sufi sering mengibaratkan hati yang telah melalui proses pemurnian dan pencerahan sebagai memiliki "cahaya hati" (nur qalb). Ini bukan cahaya fisik, melainkan penerangan batin yang memberikan kejernihan pandangan spiritual (basirah), intuisi yang tajam, dan konektivitas mendalam dengan Kebenaran Ilahi (Damyati 2024). "Cahaya hati" ini hadir sebagai manifestasi nyata dari transformasi internal yang terjadi pada diri seorang salik (penempuh jalan sufi), sebagai hasil dari latihan spiritual yang konsisten, penyingkapan tabir-tabir keegoan, dan pengisian hati dengan sifat-sifat terpuji.


Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya gagasan kesejahteraan psikologis dengan mengeksplorasi secara mendalam konsep "cahaya hati" dari perspektif psikologi tasawuf. Peneliti akan menganalisis bagaimana "cahaya hati" ini, sebagai indikator dan hasil dari perjalanan spiritual, secara intrinsik terhubung dengan kesejahteraan psikologis seseorang.


Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur (kajian pustaka). Studi literatur adalah ringkasan tertulis mengenai artikel dari jurnal, buku, dan dokumen lain yang mendeskripsikan teori serta informasi baik masa lalu maupun saat ini mengorganisasikan pustaka ke dalam topik dan dokumen yang dibutuhkan (Habsy 2017). Pemilihan metode ini didasarkan pada sifat topik yang memerlukan eksplorasi mendalam terhadap konsep-konsep filosofis, spiritual, dan psikologis dari berbagai sumber tekstual.


Data primer dan sekunder penelitian ini mencakup karya klasik karya Al-Ghazali, Ibn Arabi yang membahas konsep hati (qalb) dan cahaya hati (nur qalb), dan artikel artikel terkait. Analisis dilakukan secara tematik dan komparatif untuk membandingkan manifestasi hati menurut karya klasik dan kontemporer.


Melalui penelusuran literatur tasawuf klasik, terutama karya-karya Imam Al-Ghazali dan Ibn Arabi, "cahaya hati" (nur qalb) dipahami bukan sebagai fenomena fisik, melainkan pencerahan yang menyinari batin. Ini adalah kualitas spiritual yang diperoleh setelah melalui proses pemurnian hati (tazkiyatun nafs) dan perjalanan spiritual yang intensif (riyadhah dan mujahadah)(Alfian et al. 2018). Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin menggambarkan hati sebagai raja dalam tubuh, dan ketika raja ini diterangi oleh nur ilahi (cahaya Tuhan), ia akan mampu melihat hakikat kebenaran (basirah) yang melampaui persepsi indrawi, konsep ini menunjukkan seberapa pentingnya hati dalam pembentukan kekuatan internal dan eksternal manusia (Jalil 2016). Ibn Arabi lebih jauh menguraikan bahwa hati yang tercerahkan adalah cermin yang memantulkan manifestasi sifat-sifat Tuhan.


Sumber utama dari "cahaya hati" ini adalah anugerah Ilahi yang diberikan kepada hamba yang tekun dalam ibadah, zikir, tafakur, dan muraqabah, serta menjauhi sifat-sifat tercela (seperti dengki, sombong, riya') (Amin 2022). Proses ini melibatkan penyingkapan "tabir" (hijab) yang menghalangi hati untuk menerima cahaya tersebut. Ketika tabir-tabir ini terangkat, hati menjadi bersih dan transparan, memungkinkannya untuk menerima dan memancarkan cahaya.


Analisis komparatif antara konsep "cahaya hati" dalam tasawuf dan indikator kesejahteraan psikologis modern menunjukkan korelasi yang erat dan mendalam. "Cahaya hati" tidak hanya sekadar simbol spiritual, melainkan cerminan nyata dari kondisi psikologis yang sehat dan utuh. Berikut adalah beberapa manifestasi utama yang teridentifikasi:

  1. Ketenangan Batin (Thuma'ninah) dan Kedamaian Jiwa (Sakinah):

Menurut ajaran tasawuf secara konsisten menyebutkan bahwa hati yang bercahaya akan merasakan thuma'ninah dan sakinah. Ini adalah kondisi batin yang bebas dari kegelisahan, ketakutan, dan gejolak emosi negatif (Zaini 2016). Dalam konteks psikologi modern, ini sangat berkorelasi dengan kesejahteraan emosional dan pengurangan tingkat stres serta kecemasan. Individu merasa tenteram meskipun menghadapi cobaan hidup, karena hatinya telah tersambung dengan kekuatan yang lebih besar.


  1. Kejelasan Pandangan (Basirah) dan Kebijaksanaan (Hikmah):

Hati yang tercerahkan membuat kita mendapatkan basirah, yaitu kemampuan batin untuk melihat dan memahami kebenaran serta hakikat sesuatu yang tersembunyi di balik hal-hal yang tampak. Ini selaras dengan intuisi yang tajam dan kemampuan pengambilan keputusan yang bijaksana dalam psikologi. Seseorang yang hatinya bercahaya cenderung memiliki perspektif yang lebih luas dan tidak mudah terombang-ambing oleh pandangan superfisial. Ini juga mendukung dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth) dalam model kesejahteraan psikologis.


  1. Peningkatan Empati, Kasih Sayang, dan Keterhubungan Sosial:

"Cahaya hati" membuka jiwa untuk merasakan cinta (mahabbah) dan kasih sayang yang universal, baik kepada Tuhan maupun sesama makhluk. Hati yang bercahaya tidak egois, melainkan dipenuhi keinginan untuk melayani dan berbagi (Ramadhanty 2021). Dalam psikologi, ini tercermin dalam kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationships) dan empati yang tinggi. Individu merasa terhubung dengan lingkungan dan masyarakat, menumbuhkan altruisme dan kepedulian.


  1. Resiliensi Spiritual dan Penerimaan (Ridha):

Salah satu tanda hati yang bercahaya adalah kemampuan untuk menerima ketetapan Tuhan (ridha) dengan lapang dada. Ini menghasilkan resiliensi spiritual yang kuat, yaitu kemampuan untuk bangkit dari kesulitan, menghadapi tantangan, dan menemukan makna di balik penderitaan (RAHMAWATI 2022). Konsep ini beriringan dengan resiliensi psikologis dan penerimaan diri (self-acceptance) dalam psikologi modern, di mana individu mampu beradaptasi dan tetap berfungsi secara positif di tengah adversitas.


  1. Makna Hidup dan Tujuan (Meaning in Life):

Melalui pencerahan hati, individu menemukan makna dan tujuan hidup yang lebih dalam, melampaui kesenangan duniawi. Mereka menyadari eksistensi dan peran mereka dalam skema kosmik, yang memberikan arah dan tujuan yang jelas (Wandira 2021). Ini secara langsung berkorelasi dengan dimensi makna hidup (meaning in life) dan tujuan hidup (purpose in life) dalam psikologi positif, yang merupakan pilar fundamental bagi kesejahteraan eudaimonic.


Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa "cahaya hati" dalam psikologi tasawuf bukan sekadar konsep spiritual yang terpisah, melainkan model komprehensif kesejahteraan psikologis yang berakar pada dimensi spiritual. Ini melengkapi pemahaman modern tentang well-being dengan memasukkan aspek transenden yang sering terlewatkan. Jika psikologi positif berupaya mengidentifikasi kekuatan, tasawuf justru menawarkan jalan transformatif melalui praktik seperti dzikr dan muraqabah untuk menumbuhkan kekuatan batin hingga mencapai pencerahan hati, secara langsung memengaruhi indikator kesejahteraan psikologis seperti ketenangan, kebijaksanaan, dan empati. Dengan demikian, "cahaya hati" adalah cerminan menyeluruh dari keseimbangan optimal spiritual, emosional, kognitif, dan sosial, menegaskan bahwa kesejahteraan sejati tidak hanya butuh pengelolaan pikiran dan emosi, tapi juga pencerahan hati sebagai pusat spiritualitas manusia.


Penelitian ini menyimpulkan bahwa "cahaya hati" (nur qalb) dalam psikologi tasawuf adalah manifestasi nyata kesejahteraan psikologis yang utuh. Konsep ini, yang berasal dari pencerahan batin melalui penyucian hati dan latihan spiritual, menunjukkan korelasi kuat dengan indikator kesejahteraan modern seperti ketenangan, kebijaksanaan, dan resiliensi. Dengan demikian, tasawuf menawarkan perspektif esensial yang memperkaya pemahaman kita tentang peran dimensi spiritual dalam mencapai kondisi batin yang optimal.



REFERENSI 

Abbas, Faiz Musthofa. 2025. “Integritas Sufisme Dan Psikologi Transpersonal Eksplorasi Pengalaman Mistis Dalam Kesehatan Mental.” Tasamuh: Jurnal Studi Islam 17(1).

Alfian, Andi et al. 2018. “Tazkiyatun Nafs: Penyucian Jiwa Dalam Tasawuf.” Makassar: UIN Alauddin.

Amin, Samsul Munir. 2022. Ilmu Tasawuf. Amzah.

Anwar, Khoirul. 2017. Makna Hati, Pendekatan Tafsir Sufi. Formaci.

Damyati, Akhmad Rofii. 2024. “Memaknai ‘Fitrah’ Melalui Teori Cahaya Dan Eksistensi Dalam Pemikiran Al-Ghazali.” iWorldview 1(1).

Habsy, Bakhrudin All. 2017. “Seni Memehami Penelitian Kuliatatif Dalam Bimbingan Dan Konseling: Studi Literatur.” Jurnal Konseling Andi Matappa 1(2): 90–100.

Jalil, Muhammad Hilmi. 2016. “Konsep Hati Menurut Al-Ghazali.” Reflektika 11(1): 59–71.

Rahman, Muhammad Abdi. 2024. “AGAMA DAN PSIKOLOGI (Dampak Spritual Terhadap Kesehatan Mental).” Al-Furqan: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya 3(6): 2661–69.

RAHMAWATI, ANISA. 2022. “Makna Cinta Rindu Dan Ridho Perspektif Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya Ulumuddin.”

Ramadhanty, Fadilla Cahya. 2021. “KONSEP MAHABBAH (CINTA) DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN KARYA AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS KEKINIAN.”

Sajari, Dimyati. 2015. “Keotentikan Ajaran Tasawuf.” Dialog 38(2): 145–56.

Wandira, Ayu. 2021. “Konsep Kebahagiaan Dalam Tasawuf Menurut Prof. Dr. Muzakkir.” Hijaz: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 1(1): 50–59.

Zaini, Ahmad. 2016. “Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali.” Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf 2(1): 150.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cahaya Hati: Manifestasi dari Kesejahteraan Psikologis dalam Psikologi Tasawuf

Trending Now

Iklan

iklan