Oleh: Amalia Cahaya
“Hipnic Brengsek", bukan sekadar istilah,
melainkan luka kecil yang berdenyut di balik dada tokoh-tokoh yang mengucapkannya.
Ia lahir dari pertemuan antara amarah yang tak sanggup dibendung
dan kerinduan yang tak ingin diakui.
'Hipnic'; seperti sentakan tiba-tiba sebelum mata jatuh ke dalam tidur,
muncul tanpa permisi, mengguncang tenang yang sedang dibangun,
sedangkan 'Brengsek'; kata yang disemburkan ketika hati ingin melawan tetapi justru semakin terjerat pada orang yang sama.
Ketika dua kata itu dipadukan,
muncullah metafora yang menggambarkan seseorang yang hadir bagaikan mimpi buruk yang dirindukan,
atau candu yang memeluk sekaligus menggores.
Tokoh yang mengucapkannya seolah berkata:
"Engkau mengacaukan duniaku…,
namun aku tetap berjalan ke arahmu, walau kakiku gemetar oleh rindu."
Di dalam dialog film, istilah itu bekerja seperti pecahan kaca: berkilau sekaligus melukai, menyingkap betapa rapuh dan liar emosi manusia ketika berhadapan dengan perasaan yang tak
bisa dijinakkan.
“Hipnic Brengsek”, menjadi bahasa jiwa,
tempat tokoh menyimpan amarah, cinta, penolakan, dan penyerahan dalam satu gumaman yang terdengar sinis,
namun sesungguhnya penuh getir dan pengakuan diam-diam.
Ia adalah teriakan kecil
yang menggema di lorong hati setiap kali seseorang hadir sebagai badai yang tak bisa dihindari,
namun juga tempat pulang yang tak bisa ditinggalkan.