Khusnul Khotimah, Fayya Bariyyatassyifa, Nazila Aryanti, Alvin Eryandrailustrasi
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia berinteraksi, termasuk dalam hal berbelanja. Kemudahan akses internet dan kehadiran e-commerce memunculkan fenomena "frictionless shopping", yakni proses belanja tanpa hambatan yang memudahkan pengguna dalam mengambil keputusan konsumsi secara cepat. Selamat datang di era "swipe dan spend" fenomena yang kini mendominasi perilaku konsumsi mahasiswa Indonesia. Faktanya terdapat data mengejutkan dari survei GSMA Intelligence (2023) , sebanyak 31% pengguna internet Indonesia melakukan pembelian online dalam 30 hari terakhir, dengan mahasiswa sebagai kontributor terbesar. Lebih mengkhawatirkan lagi, 75% dari mereka mengakui sering melakukan "impulse buying" membeli sesuatu tanpa perencanaan matang. Fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan cerminan perubahan fundamental dalam pola konsumsi generasi digital.
Revolusi digital telah mengubah cara kita berbelanja secara dramatis. Jika dulu berbelanja membutuhkan effort untuk pergi ke toko, sekarang cukup dengan sentuhan jari di layar smartphone. Kemudahan ini, yang oleh para ahli disebut sebagai "frictionless shopping," ironisnya menciptakan masalah baru: hilangnya "waktu berpikir" sebelum memutuskan membeli. Dr. Sarah Johnson, psikolog konsumen dari Stanford University, menjelaskan bahwa "ketika proses pembelian menjadi terlalu mudah, otak kita tidak sempat memproses apakah kita benar-benar membutuhkan barang tersebut." Fenomena ini diperparah oleh algoritma e-commerce yang dirancang untuk "mengenal" preferensi kita dan menyajikan produk yang sulit ditolak.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat perilaku konsumtif mahasiswa terhadap belanja online dan mengidentifikasi dimensi utama dari perilaku tersebut. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan deskriptif. Sampel penelitian terdiri dari 30 mahasiswa aktif di Jakarta yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Kriteria inklusi adalah mahasiswa yang pernah melakukan pembelian melalui platform belanja online.
Instrumen yang digunakan adalah skala perilaku konsumtif dengan dua dimensi utama: (1) Pembelian Impulsif dan (2) Kontrol Keinginan Konsumsi. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif melalui jamovi.
Untuk memahami seberapa dalam perilaku konsumtif telah mengakar di kalangan mahasiswa, kami melakukan penelitian terhadap 30 mahasiswa aktif di Jakarta. Hasilnya? Cukup mengejutkan.
Rata-rata skor perilaku konsumtif: 18,2 (dari skala 8-32)
75% mahasiswa menunjukkan perilaku konsumtif tingkat sedang hingga tinggi
Rentang variasi yang luas: dari skor 12 hingga 29, menunjukkan perbedaan individual yang signifikan.
Penelitian kami mengidentifikasi dua dimensi utama yang membentuk perilaku konsumtif:
Pembelian Impulsif (Skor rata-rata: 9,4)
"Saya sulit menahan keinginan untuk membeli sesuatu yang menarik". Skor tertinggi (2,8)
"Saya sering berbelanja karena bosan atau stres". Skor tinggi (2,6)
Kontrol Keinginan Konsumsi (Skor rata-rata: 8,8)
"Saya membeli sesuatu hanya karena diskon/promo". Skor tertinggi (2,9)
"Saya tidak mempertimbangkan kondisi keuangan sebelum membeli". Skor tinggi (2,4)
Yang paling mengkhawatirkan adalah temuan bahwa 90% mahasiswa mengaku "tidak bisa menolak" ketika melihat diskon besar-besaran di aplikasi belanja online. Ini menunjukkan betapa efektifnya strategi psychological pricing yang diterapkan platform e-commerce.
Penelitian kami mengkonfirmasi bahwa perilaku konsumtif di kalangan mahasiswa bukan lagi fenomena marginal, melainkan mainstream yang membutuhkan perhatian serius. Seperti halnya "word of mouth" yang memiliki kekuatan "satu suara, seribu dampak," perilaku konsumtif juga memiliki efek domino: "satu swipe, ribuan konsekuensi."
Namun, bukan berarti kita harus anti teknologi atau menghindari belanja online sama sekali. Kuncinya adalah conscious consumption berbelanja dengan penuh kesadaran, perencanaan, dan kontrol diri. Dengan begitu, kita bisa menikmati kemudahan era digital tanpa mengorbankan kesehatan finansial dan mental.
Ingat, di era yang serba cepat ini, kemampuan untuk "pause and think" sebelum "swipe and spend" adalah keterampilan yang sangat berharga. Generasi digital yang cerdas bukan yang paling banyak berbelanja, melainkan yang paling bijak dalam mengambil keputusan konsumsi.
Referensi
Anggraini, R. T., & Santhoso, F. H. (2019). Hubungan antara gaya hidup hedonis dengan perilaku konsumtif pada remaja. Gadjah Mada Journal of Psychology, 5(2), 123-134.
Engel, J. F., Blackwell, R. D., & Miniard, P. W. (1995). Consumer behavior (8th ed.). The Dryden Press.
GSMA Intelligence. (2023). The mobile economy Indonesia 2023. GSMA Association.
Harita, Y. Y., Gusnardi, G., & Isjoni, M. Y. R. (2022). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif mahasiswa pendidikan ekonomi. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(2), 13522-13530.
Sudiro, A., & Asandimitra, N. (2022). The influence of lifestyle and self-control on student consumptive behavior. Journal of Management Studies, 15(3), 189-203.