KabarPendidikan.id Himpunan Mahasiswa Sejarah (HIMAS) bersama Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (Uhamka) menggelar kegiatan Seminar Nasional yang berlangsung di Aula Ahmad Dahlan, FKIP Uhamka pada dengan mengusung tema Sejarah di Simpang Jalan Kurikulum: Antara Substansi, Kompetensi, dan Ideologi, Selasa, (20/5).
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk guru-guru sejarah dari Jabodetabek, dosen, mahasiswa, praktisi, dan komunitas pecinta sejarah. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang sejarah dan pendidikan sejarah.
Dekan FKIP Uhamka, Purnama Syae Purrohman dalam sambutannya menyatakan salah satu unsur terpenting dalam pendidikan adalah memelihara nilai-nilai luhur yang sudah ada sejak lama, nilai-nilai yang dimaksud itulah yang terdokumentasi dalam Sejarah.
Selanjutnya, Keynote Speaker oleh Wakil Rektor II Uhamka Desvian Bandarsyah sekaligus dosen sejarah, menyampaikan bahwa sejarah resmi adalah jangkar memori bangsa. Ia menekankan bahwa tanpa kehadiran negara dalam menyusun narasi sejarah, generasi muda akan tumbuh dalam kebingungan yang berkepanjangan.
“Ketika negara hadir menyusun sejarah, generasi muda mendapat pegangan untuk memahami masa lalu dan membangun masa depan. Tanpa itu, kita hanya mewarisi kebingungan, bukan kebijaksanaan,” ujarnya.
Prof. Susanto Zuhdi Guru besar UI dan Ketua Editor Penulisan Sejarah Indonesia 2025, juga memberikan pandangannya tentang pentingnya menemukan kembali Identitas Indonesia (Reinventing Indonesian Identity) sebagai upaya perwujudan Indonesia sentris dalam persilangan budaya dan kemajuan zaman.
“Kita harus menggali kembali siapa kita sebagai bangsa Indonesia, agar kita tidak tenggelam dalam arus zaman dan pengaruh budaya luar. Inilah salah satu menjaga agar Indonesia tetap jadi tuan rumah di negerinya sendiri,” tutur Prof Susanto.
Sumardiansyah Perdana Kusuma, M.Pd Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), menekankan bahwa guru-guru di sekolah sangat membutuhkan buku ajar sejarah yang utuh, teruji, dan tidak saling bertentangan. Ia menyatakan bahwa siswa berhak mendapat cerita bangsa yang sistematis dan konsisten.
“Pendidikan dasar dan menengah di Indonesia saat ini memerlukan acuan dan panduan yang utuh dan terverifikasi agar setiap metode dan pendalaman tidak saling berbentrokan. Melalui hal ini, siswa akan mendaoatkan informasi yang akurat dan konsisten,” sampai Sumardiansyah.
Lelly Qodariah dosen pendidikan sejarah, juga memberikan pandangannya tentang pentingnya sejarah dalam membentuk kesadaran kebangsaan. Ia menyatakan bahwa sejarah harus dijadikan mata pelajaran wajib di sekolah, karena ia membentuk kesadaran kebangsaan, bukan sekadar hafalan peristiwa.
“Semoga kegiatan ini dapat menjadi contoh bagi kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang sejarah dan pendidikan sejarah. Dengan demikian, diharapkan dapat membentuk generasi muda yang memiliki kesadaran kebangsaan yang kuat dan memahami sejarah dengan baik,” harapnya.
Andi Ketua Prodi Pendidikan Sejarah, meyakini bahwa "reinventing sejarah harus dilakukan secara ilmiah, partisipatif, dan lintas disiplin. Bukan hanya oleh pemerintah atau akademisi pusat, tetapi juga melibatkan guru, komunitas lokal, serta generasi muda." Tuturnya.
Ahmad Maulana, Ketua Hima Sejarah, juga memberikan pandangannya tentang pentingnya sejarah yang dapat dipercaya. Ia menyatakan bahwa mahasiswa merasa bingung dengan begitu banyaknya versi sejarah yang beredar, baik di kelas maupun di media sosial.
Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang sejarah dan pendidikan sejarah. Kegiatan ini juga menjadi wadah bagi para guru, dosen, mahasiswa, dan praktisi untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang sejarah dan pendidikan sejarah.