Menjadi Guru Holistik 4.0

Rabu, 01 Desember 2021 | 14:27 WIB Last Updated 2021-12-01T07:27:18Z

Prof. Dr. Abdul Rahman A.Ghani, Wakil Rektor I UHAMKA

 

Guru merupakan bagian sentral dalam dunia pendidikan. Betapa tidak, apapun kebijakan tentang pendidikan baik oleh pemerintah maupun manajemen sekolah, guru adalah ujung tombak pelaksananya, mulai dari kurikulum, strategi, metode pembelajaran,  penilaian, evaluasi pembelajaran, dan seterusnya. Maka tidak berlebihan jika dikatakan, factor utama keberhasilan pendidikan banyak terletak pada guru. Semakin baik dan professional guru, maka potensi keberhasilan pendidikan semakin besar; begitu pula sebaliknya.

 

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah menyebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional. Lebih lanjut, Undang-Undang menjelaskan yang dimaksud profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

 

Namun disadari bahwa “profesionalitas” guru harus diletakkan dalam kerangka dinamis dan berkembang sesuai dengan dinamika sosio-cultural kemasyarakatan, bukan sesuatu yang statis. Dinamis tidak hanya dari segi substansi materi yang diajarkan, namun juga strategi dan juga teknik dalam pengajaran dan pendidikan kepada para peserta didik.

 

Pada masa lalu, guru SD barangkali masih nyaman dengan pola pembelajaran baca, tulis, hitung (calistung) yang masih sederhana; buku-buku pelajaran juga masih relatif sederhana. Namun, seiring perkembangan jaman, pada tingkat SD saja guru sudah tidak hanya mengajarkan calistung. Guru sudah dituntut masuk kepada aspek pengetahuan, aspek keterampilan, aspek sikap, dan perilaku, sebagaimana tercermin dalam  Kurikulum 2013. Jika hanya sekedar Calistung, sekarang ini anak-anak sudah banyak memiliki “guru” melalui media-media elektronik dan internet.

 

Lalu, bagaimana menjadi guru ditengah perkembangan jaman seperti sekarang yang tidak hanya sudah mengglobal, namun sudah banyak disebut sebagai era Revolusi Industri 4.0?; atau, dengan pertanyaan pendek: bagaimana menjadi guru 4.0?

 

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah menyebutkan: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (pasal 1 ayat (1)). Pengertian tersebut lebih banyak merujuk menjelaskan jenis tugas yang dilakukan guru di sekolah; namun, bagaimana kualitas guru dalam menjalankan tugas tersebut? Inilah yang penting diperhatikan.

 

Kualitas dalam menjalankan tugas merupakan aspek yang menentukan kualifikasi “guru”. Jika diperjelas sebagaimana tuntutan Kurikulum 2013, guru harus memiliki kualitas pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku yang diperlukan para peserta didik. Dalam cara pandang yang lebih luas, guru harus memiliki tanggungjawab pengetahuan, tanggung jawab moral, dan tanggung jawab sosial.

 

Tanggung jawab pengetahuan adalah bagaimana guru dapat menguasai dan melakukan transformasi pengetahuan kepada para siswa. Dan tidak hanya transformasi, namun bagaimana siswa juga mempercayai kebenaran atas apa yang disampaikan sehingga tergerak untuk menjalankan atas apa yang disampaikan. Begitu pula, pengetahuan yang disampaikan juga pengetahuan yang  memiliki relevansi dengan kebutuhan siswa.

 

Tanggung jawab moral menempaykan guru tidak hanya berprilaku baik ketika di sekolah, bahkan diluar sekolah eksistensi guru harus terus menjiwai untuk menjaga nilai-nilai kebaikan.  Dalam perkataan lain, guru harus memberikan pancaran pendidikan karakter terlebih dahulu bagi dirinya, sehingga dapat menjadi contoh dan teladan bagi para siswa. Kualitas karakter guru menjadikan pengetahuan yang disampaikan, bahkan instruksi yang diberikan kepada para siswa, memiliki wibawa dan daya gerak kepada para siswa. Sebaliknya tanpa karakter, apa yang disampaikan guru berpotensi dianggap angin lalu oleh para siswa karena sering adanya inkonsistensi antara apa yang disampaikan dengan apa yang dilakukan.

 

Tanggung jawab social menempatkan guru sebagai pihak agent of change masyarakat. Apa yang disampaikan dan tindakan guru harus dapat mewarnai para peserta didik, bahkan masyarakat, sehingga memiliki rujukan tentang nilai-nilai kebaikan yang agung. Tanggung jawab sosial ini merupakan konsekuensi dari tanggung jawab pengetahuan dan moral guru. Dengan kata lain, guru yang memiliki tanggung jawab sosial akan tercermin dan terpancar dari pelaksanaan tanggung jawab pengetahuan dan moral.

 

Demikianlah, guru tidak seharusnya hanya mengejar target menghabiskan bahan-bahan pelajaran saja, namun bagaimana materi pelajaran yang disampaikan dapat diserap murid dan mampu menggerakkan mereka sehingga dapat menjadi perubahan, baik bagi guru itu sendiri, siswa, dan masyarakat bahkan negara.

 

Barangkali kita tidak asing dengan ungkapan lama yang berkembang di masyarakat, bahwa   “guru” adalah orang yang “digugu” dan “ditiru”. “Digugu” adalah orang yang dapat dipercaya  atas apa yang disampaikan, baik tulisan maupun omongan. “Ditiru” adalah  orang yang dapat menjadi contoh atau teladan atas berbagai tindakan, ucapan, dan bahkan dalam cara berpakaian, cara berjalan, cara bersikap dengan sesama, dan hal-hal lain yang melekat pada diri seorang guru.  Ki Hajar Dewantara menjelaskan eksistensi guru tersebut dengan ungkapan yang terkenal: “Ing Ngarso Sung Tulodho; Ing Madya Mangun Karso; Tut Wuri Handayani.”

 

Tanggung jawab pengetahuan menempatkan guru harus memiliki kecerdasan (Fathonah) sebagai prasyarat untuk menyerap dan menyampaikan pengetahuan. Kecerdasan yang dimaksudkan disini bukanlah sesuatu yang genetik, namun ia merupakan ketekunan dalam pikir baik dengan membaca, diskusi, dan cara-cara lain yang sejenis. Dengan demikian, kecerdasan memungkinkan guru memiliki pengetahuan yang luas, bahkan interdisipliner. Kemudian, Tanggung jawab moral menempatkan guru harus memiliki sifat bisa dipercaya (amanah) dan  jujur (shidq). Dan Tanggung jawab social menempatkan guru harus dapat menyampaikan dan memberi teladan kepada peserta didik, dan itu adalah Tabligh.  

 

Tanggungjawab yang melekat pada guru tersebut menghadapkan pada eksistensi guru yang dapat dikatakan mengemban misi profetik (kenabian). Guru Sejati (dengan huruf besar) selalu tercermin keempat sifat (Sidq, tabligh, amanah, dan fathonah) dimana sifat-sifat tersebut juga melekat pada kenabian. Selebihnya adalah konsistensi (istiqomah) terhadap apa yang telah menjadi jalan kebaikan. 

 

Dengan meletakkan guru pada spektrum tersebut, maka dapat digambarkan suatu matrik yang menggambarkan Integritas Guru sebagai berikut:


Menjadi Guru 4.0

Era sekarang sudah bukan sekedar globalisasi; namun sudah masuk ke wilayah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat dahsyat. Para ahli menyebut era sekarang disebut dengan Era Industry 4.0. Inti dari revolusi industri 4.0 adalah perkembangan teknologi yang menekankan pada pola:

a.     Digital economy, yaitu menggerakkan sektor ekonomi melalui perangkat teknologi digital, seperti: pemasaran online, ojek onlie (ojol), dan lain-lain.

b.     Internet of Things (IoT), alat yang terhubung dengan internet dan saling terintegrasi, seperti:  lampu ruangan yang terkoneksi dengan internet dan bisa terintegrasi dengan smartphone sebagai pengaturnya.

c.     Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan

d.     Big Data

e.     Robotic

f.      dan lain sebagainya.

Fenomena perkembangan tersebut sering disebut juga dengan fenomena disruptive technology.

 

Teknologi sudah menjadi kebutuhan, mulai dari kalangan dewasa hingga anak-anak. Penelitian KPAI menjelaskan, 79% anak diperbolehkan menggunakan gadget dan sisanya tidak; 71,3 persen anak memiliki gadget dan sisanya tidak. Penggunaan gadget maupun laptop semakin menjadi kebutuhan bagi anak-anak seiring dengan pembelajaran online selama Pandemi.

 

Perubahan sosial sekarang tidak hanya mengglobal, namun sudah memasuki apa yang disebut Revolusi Industri 4.0.  Fenomena kepanikan, “kegilaan”, dan bahkan kerancuan nilai (anomie) adalah beberapa dampak yang pada akhirnya menuntut para guru lebih kreatif dan meningkatkan secara optimal Kompetensinya.  Guru harus terus menjadi pembelajaran, tidak hanya mengajar.  Namun, tetap tegak menjaga Integritas Guru sebagai dasar Kemuliaan Guru sejati.

 

Dalam menjadi guru 4.0, penting kiranya mencermati apa yang disebut dengan Pendidikan Holistik.  Pendidikan holistik pada dasarnya adalah pendidikan child centered, yaitu menumbuhkan potensi kecerdasan anak, baik kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual.  Sekalipun demikian, pendidikan holistik perlu dijalankan sejalan dengan era disrupsi; maka Blended learning dapat menjadi alternatif sebagai strategi pembelajaran. Guru harus pandai-pandai menjadi “teman” bagi para siswa dalam menjelajah berbagai pengalaman, namun tidak terlepas dari nilai dan juga model kecerdasan yang menjadi tujuan pendidikan.

 

Akhirnya, sebagai agent of social change, apa yang menjadi tugas Guru harus mampu mengantar para siswa dan juga masyarakat membangun peradaban yang lebih baik.

 

 

 

 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menjadi Guru Holistik 4.0

Trending Now

Iklan

iklan