Asha Haula Salsabila
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/ FBS/
Universitas Negeri Surabaya)
Berangkat dari pengalaman pandemi, yaitu pembelajaran
yang dilakukan melalui daring tanpa adanya banyak persiapan ternyata mampu
menyadarkan para pemerhati pendidikan untuk mengevaluasi sejauh mana pendidikan
Indonesia dapat memperbaiki kekurangannya dan mengejar kemajuan pendidikan di
luar negeri. Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak terlepas dari peran guru dan siswa
karena keduanya merupakan subjek pembelajaran yang dapat memengaruhi kualitas
pendidikan Indonesia di tahun 2045, sebagai seratus tahun usia kemerdekaan
Indonesia.
Salah satu permasalahan pendidikan yang tampak adalah
banyak siswa yang mengeluh ketika pembelajaran lebih banyak diganti dengan
tugas. Mungkin hal tersebut juga dapat didasarkan pada kekhawatiran guru pada
siswa yang tidak mau belajar sebab tidak ada pengawasan secara langsung. Namun,
faktanya hal tersebut bukan menjadi solusi yang tepat. Masih banyak siswa yang
justru malas mengikuti pembelajaran bahkan tidak menghargai guru.
Realita pun mulai menunjukkan akibat dari banyaknya
tugas yang diberikan guru. Banyaknya tugas, dapat menyebabkan sebagian siswa
tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensinya sehingga dibenak
mereka, menyelesaikan tugas hanyalah usaha untuk memenuhi kewajibannya sebagai
siswa. Lebih buruk dari itu, bagi siswa yang tertinggal jangkauan
pengetahuannya, mereka tidak jarang memutuskan untuk mencontek ataupun
mengerjakan tugas secara asal-asalan.
Adanya kemajuan zaman ini, seharusnya semakin
memudahkan siswa untuk belajar maupun mengerjakan tugas, tetapi faktanya mereka
justru meremehkan guru dan hanya bergantung pada jawaban yang sudah tersedia di
internet, padahal kebenarannya belum tentu seratus persen. Hal tersebut juga dapat
disebabkan metode pembelajaran yang dilakukan guru masih konvensional, seperti
hanya menyampaikan materi dengan teori-teori, kurangnya penggunaan media dan
sebagainya, sehingga tidak heran jika siswa merasa bosan dan bersikap tak acuh
pada guru. Jika hal tersebut terus dibiarkan dapat memengaruhi kemampuan dan
hasil belajar siswa yang semakin rendah sehingga tingkat kualitas pendidikan di
Indonesia pun akan menurun.
Hal tersebut tidak seharusnya terjadi karena pada
tahun 2021 Indonesia meraih satu peringkat lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Pada tahun ini, Indonesia ada di peringkat 55 dari 73 negara. Namun, dalam
cakupan Asia Tenggara, Indonesia masih menduduki peringkat empat setelah
Singapura, Malaysia, dan Thailand. Jika dilihat dari peringkat pendidikan di seluruh
negara tahun ini, Singapura berada di urutan ke-21, Malaysia di barisan ke-39,
dan Thailand di posisi ke-46 (Aisyah, 2021).
Lantas, negara mana yang pendidikannya mendapatkan
peringkat terbaik di dunia? Jawabannya adalah Amerika Serikat yang sudah
menjadi peringkat pertama selama dua kali berturut-turut (Prastiwi, 2021).
Adapun salah satu negara dengan prestasi dan sistem pendidikan terbaik di dunia
meskipun masih kurang tenar dibandingkan universitas yang ada di Amerika
Serikat adalah Finlandia. Berkaca dari pendidikan di negara tersebut, ternyata
waktu pembelajarannya tidak banyak, cara mengajarnya juga nyaman atau santai,
dan pengajar fokus dengan bidangnya masing-masing (Purwadi, 2021). Selain itu,
di negara tersebut para siswanya juga tak banyak menjalankan pekerjaan rumah.
Rata-rata durasi siswa mengerjakan pekerjaan rumah hanya 2,8 jam dalam satu
minggu (Berty, 2018).
Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara tersebut,
sebagai salah satu negara berkembang kita masih perlu menuntaskan berbagai
permasalahan pendidikan yang ada, dan bangkit untuk menuju pendidikan yang
benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu hal yang paling dihindari
oleh kebanyakan siswa di Indonesia adalah kuantitas jumlah tugas, dan memang
hal itu sebenarnya kurang baik sebab siswa juga manusia dan guru seharusnya dapat
belajar dari pengalamannya saat menjadi siswa.
Jika siswa terlalu banyak diberi tugas, mereka hanya
terfokus mengerjakan tugas sehingga perlu ada solusi untuk menuntaskan
permasalahan tersebut. Pertama, harus ada pembatasan jumlah tugas selama satu
minggu. Kedua, mendukung rencana sebelumnya, diperlukan juga media sebagai
penunjang fasilitas, misalnya, papan daftar tugas siswa. Selain sebagai
pengingat guru dan siswa, adanya media tersebut juga bermanfaat sebagai ukuran
batas pemberian tugas. Terlebih lagi jika mengikuti kemajuan teknologi, media
tersebut juga dapat dipermudah melalui internet agar tidak bisa dimanipulasi
dan bisa dilihat oleh siswa maupun guru kapan pun dan di mana pun.
Lalu, bagaimana jika sudah diberi batasan, tetapi
masih ada siswa yang tidak mengerjakan tugas? Mungkin diperlukan adanya feedback
yang dapat memotivasi siswa. Bagi siswa yang sudah melakukan tugas dengan baik
dan jawabannya memenuhi kriteria maka berhak mendapatkan apresiasi, tetapi bagi
siswa yang tidak mengerjakan tugas sama sekali maka ia akan diberikan
konsekuensi penambahan tugas sehingga siswa akan dihadapkan pada kenyataan
bahwa memang hidup itu pilihan, mereka diberikan kesempatan untuk berpikir
kembali mana yang seharusnya baik dan tidak untuk mereka lakukan.
Selanjutnya, bagaimana dengan masalah siswa yang
kurang merespon guru saat pembelajaran? Hal tersebut dapat diatasi dengan cara
sebagai berikut. Pertama, menggunakan strategi kelas terbalik, seperti guru
mengajak siswa melakukan diskusi bersama yang telah diinformasikan sebelumnya
sehingga siswa sudah memiliki bekal untuk siap belajar. Kedua,
mengimplementasikan pembelajaran kolaboratif. Terinspirasi dari salah satu
acara televisi nasional yaitu Brownis (Obrowlan Manis), supaya tidak
membuat siswa tegang dan lebih santai, guru bisa membangkitkan semangat siswa
dengan membarui penyebutan diskusi menjadi bincang-bincang bersama.
Bincang-bincang tersebut juga dapat dilakukan dengan mengolaborasi materi
dengan fakta kehidupan atau kondisi Indonesia saat itu. Dengan demikian, siswa
akan lebih memiliki minat untuk belajar dan serasa sedang mengobrol dengan
temannya, sedangkan guru mengarahkan dan meluruskan apabila ada pembahasan yang
kurang tepat.
Melalui pembatasan tugas, maka siswa dapat memiliki
waktu yang bersahabat untuk menyelesaikan tugas dengan baik dan memiliki
kesempatan untuk mengembangkan bakat maupun minatnya. Begitu juga adanya media
daftar tugas yang dapat mempermudah proses belajar siswa, lebih dari itu jika
media tersebut berupa tautan atau semacamnya yang bisa diakses maka siswa
maupun guru juga dapat memenuhi tuntutan zaman dalam bidang teknologi.
Kemudian, melalui bincang-bincang bersama yang
merelevansikan pembelajaran dengan fenomena kehidupan, maka guru dapat
membiasakan kreatif, inovatif, dan inspiratif dalam mendesain kegiatan
pembelajaran dan mengembangkan pemikirannya, sedangkan siswa akan mendapatkan
pengalaman yang menambah daya ingat mereka. Hasil perbincangan pun dapat
menjadi solusi yang lebih nyata dan bermanfaat untuk kehidupan mereka maupun
bangsa. Selain itu, dengan tuntutan tersebut maka siswa akan termotivasi untuk
belajar jika tidak mereka akan tertinggal dengan temannya, begitu juga guru
yang harus terus belajar agar dapat memberikan pengetahuan dengan benar.
Mungkin tidak mudah untuk memulainya dan mungkin sudah ada beberapa guru yang menerapkan solusi sederhana tersebut, tetapi tetap perlu dibiasakan karena peran pendidik sangatlah penting bagi masa depan bangsa. Sebagai guru yang baik seharusnya bukan hanya menganggap permasalahan pada siswa, tetapi juga perlu instrospeksi diri, sedangkan siswa sebagai peserta belajar sudah seharusnya menghargai guru karena guru bukan hanya seseorang yang bekerja untuk mentransferkan ilmu, tetapi merekalah yang memberikan perubahan dalam hidup kita dan selalu ingatlah bahwa nasib bangsa ada di tangan generasi muda. Mari, kita menuju masa depan pendidikan Indonesia yang berkualitas!