Surga Yang Berkorban

Selasa, 08 Juni 2021 | 17:43 WIB Last Updated 2021-06-12T00:43:31Z

 


Karya Salsa Bila Eka Putri

(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHAMKA)


Adzan subuh terdengar samar-samar ditelinga ibu Nini. Ibu Nini langsung bergegas

bangun dan merapikan tempat tidurnya. Sesekali ia melirik jam yang sudah menunjukkan

pukul 04.15 WIB. Dengan cepat, ibu Nini langsung bergegas ke pintu kamar di ruang tengah,

membangunkan anak semata wayangnya Hamdan.


Hamdan adalah anak semata wayang Ibu Nini dan Pak Hamid. Ibu Nini, harus

merawat Hamdan seorang diri, karena Pak Ahmad kerja merantau dan jarang sekali

mengirimkan uang. Covid-19, yang terjadi saat ini membuat penghasilan Pak Hamid menipis.

Hal itu membuat Ibu Nini harus berjualan nasi pecel, untuk mencukupi kebutuhan mereka

berdua.


“Klek” suara cetekan kompor terdengar dari dapur. Ibu Nini sedang menyiapkan

dagangan nasi pecel pagi ini. “Hamdan!” panggil ibu Nini kepada Hamdan. Kala itu, Hamdan

sedang bermain ponsel di kamarnya. “Sebentar bu!” Hamdan berteriak menanggapi

panggilan ibunya. Ibu Nini menghela nafas berat, karena Hamdan tak mau membantu. Tetapi

Hamdan tetap anak laki-lakinya, jadi ia harus menyayangi dan memenuhi kebutuhannya.

Penghasilan jualan nasi yang tidak menentu, terkadang membuat Ibu Nini harus bekerja juga

di sawah untuk penghasilan tambahan. Saat Covid-19, sekolah-sekolah di desa ditutup.

Sebagai gantinya sekolah dipindah melalui daring. Ingat sekali, ketika Hamdan datang

menghampirinya sembari cemberut karena dia tidak memiliki ponsel pintar untuk sekolah.


“Hamdan minta Handphone, buat sekolah. Malu, masa pinjam tetangga terus.”

Hamdan menatap ibunya sambil memasang wajah yang sedikit kesal. Ibu Nini hanya terdiam

sembari menatap anaknya. “Ibu! Lihat teman-temanku, mereka sekolah pakai Handphone.

Kalau aku tidak punya, gimana aku bisa belajar.” Hamdan menghela nafasnya kasar.


“Iya. Ibu belikan. Hamdan sabar ya. Tunggu kiriman dari ayah dulu.” Ibu Nini

menggenggam tangan Hamdan sambil mengangguk yakin. Hamdan melirik ibunya sekilas,

lalu berdiri, “Mana ada ayah kirim uang? Ibu! Buat makan saja susah. Apalagi beli

Handphone. Kalau Hamdan tidak terdesak seperti ini, Hamdan tidak mau menyusahkan Ibu

sama ayah.” Ibu Nini lantas berdiri dihadapan Hamdan, “Tenang Hamdan, ayah sudah kirim

uang buat beli Handphone Hamdan. Jadi, Hamdan tidak perlu pinjam tetangga lagi.” Ibu Nini

tersenyum sambil mengusap rambut anak laki-lakinya yang sudah bertumbuh remaja.

Hamdan langsung menatap wajah ibunya dan tersenyum senang.


Lagi-lagi Ibu Nini harus menjual gelang emas miliknya, untuk membelikan Hanphone

Hamdan. Setelah dibelikan Handphone, Hamdan cenderung sulit sekali untuk disuruh

membantu Ibu Nini. Bahkan, tugas sekolahpun tak Hamdan kerjakan. Padahal, ia memegang

Handphone seharian.


“Hamdan! Kok buku tulis kamu kosong semuanya?” tanya Ibu Nini sembari

membuka buku tugas Hamdan. Hamdan masih fokus pada layar Handphone miliknya.

“Victory!!” teriak Hamdan sambil berdiri lalu melompat kegirangan, karena ia menang dalam permainan. Ibu Nini, terus memperhatikan Hamdan. Setiap hari kerjaannya hanya bermain

ponsel, dan meminta uang untuk membeli paket data internet.


“Kok kamu minta uang terus Hamdan? Buku tulismu kosong, LKS juga kosong.

Kamu ini setiap hari main handphone, sekolah apa tidak?” tanya Ibu Nini pada Hamdan yang

memasang wajah kesal. “Ibu ini nuduh aku yang tidak-tidak? Untuk apa buku tulis dan LKS

kalau semua bisa diakses lewat handphone? Zaman sudah canggih bu. Sekarang berikan aku

uang, untuk beli paket data! Karena aku butuh untuk mengunduh soal di internet.” Jelas

Hamdan pada ibunya. Ibu Nini yang merasa bersalah, karena menuduh anaknya pun langsung

meminta maaf dan memberika uang untuk membeli paket data.


Suatu hari, ketika sedang membereskan dagangan nasinya di siang hari, datang

seorang perempuan yang cantik dan berpakaian dinas ke rumah Ibu Nini. Ternyata

perempuan itu adalah Ibu Rosa, wali kelas Hamdan. Ibu Rosa menjelaskan, bahwa Hamdan

tidak pernah mengumpulkan tugas sekolah. Ibu Nini langsung kaget mendengar penjelasan

Ibu Rosa. Selama ini, yang Ibu Nini tahu adalah Hamdan bermain handphone dan

mengerjakan tugasnya. Ibu Rosa, menyuruh ibu Nini untuk terus mendampingi Hamdan

dalam belajar. bisa saja anak bermain handphone, tetapi tidak mengerjakan tugas dan malah

bermain permainan lain. Peran orang tua sangatlah ekstra dalam pembelajaran daring seperti

ini.


Sore harinya, Ibu Nini sedang membereskan ruang tamu. Hamdan sedang duduk di

sofa sambil bermain handphone. “Ternyata selama ini kamu tidak pernah mengerjakan tugas

Hamdan?!” tanya Ibu Nini yang berdiri di hadapan Hamdan. Ibu Nini langsung merampas

handphone tersebut dan suasana menjadi panas. Hamdan langsung berdiri dan ingin meraih

handphone. “Ibu tahu darimana? Hamdan mengerjakan. Buktinya Hamdan online terus!”

Hamdan berbicara dengan nada tinggi sambil menatap ibunya. Ibu Nini menangis keras,

sambil bersimpuh dihadapan Hamdan dan menjelaskan apa yang Ibu Rosa katakan tadi siang.


“Ibu sudah berjuang untuk memfasilitasi kamu. Ibu mati-matian mencari uang untuk

biaya sekolah kamu. Ayah kamu juga bekerja sampai merantau. Tetapi, ibu yang merawatmu

disini Hamdan. Kamu sudah membohongi Ibu! Kamu bilang, kamu mengerjakan tugas. Kata

Ibu Rosa, kamu masuk daftar anak-anak yang tidak mengumpulkan tugas.” Ibu Nini

berbicara dengan nada lirih sambil menangis. Hamdan yang merasa bersalah karena

perkataan ibunya langsung memeluk ibu Nini.


“Ibu minta maaf. Ibu yang salah, karena ibu tidak memperhatikan kamu dan malah

mencari uang terus.” Hamdan menggelengkan kepalanya. “Hamdan yang salah, karena

terlalu egois untuk kesenangan Hamdan. Harusnya Hamdan paham, bahwa Hamdan adalah

cita-cita ibu bapak. Maafkan Hamdan yang terlalu egois ya bu. Hamdan terlalu terlena, pada

zaman modern ini. Sehingga, Hamdan lupa pada kewajiban Hamdan. Hamdan menyesal bu.

Hamdan berterima kasih pada Ayah dan Ibu, karena sudah berusaha memfasilitasi Hamdan.

Hamdan yang minta maaf, karena tidak bisa menjaga amanah ibu dan ayah, menjalani

kewajiban Hamdan.” Hamdan bersimpuh sembari menangis mengingat kelakuannya. Ia lalu

mencium telapak kaki ibunya, “Maafkan Hamdan ibu.” ucap Hamdan dalam hatinya.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Surga Yang Berkorban

Trending Now

Iklan

iklan