Hitamnya Putih

Rabu, 09 Juni 2021 | 07:44 WIB Last Updated 2021-06-11T11:56:08Z

Karya Nabilah Dwi Handayani

(Mahasiswa Farmasi FFS UHAMKA)


Hai, namaku alsya. Izinkan aku menceritakan perjalanan hidupku. Aku sangat ingin berkuliah

di luar negeri dengan gratis. Dan itu sangat mudah jika aku berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri,

karena banyak sekali penawaran beasiswa disana. Saat lulus SMP, papaku menawarkan untuk

menyekolahkanku di dua sekolah yang berbeda kota. Pilihan pertama adalah sekolah Swasta di

Semarang, dan pilihan kedua adalah sekolah Islam negeri ditempat tinggalku, yaitu Bogor. Aku

memilih sekolah Swasta Semarang karena memang ingin mengenal lebih dalam perbedaan dan

kebiasaan dari setiap kota.

 

Aku mulai sekolah dan mengenal banyak teman baru. Dari awal masuk SMA, aku sudah

memiliki target untuk lolos masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN atau yang biasa

disebut jalur undangan. Beribu pertanyaan selalu aku lontarkan pada kakak kelas yang lolos melalui

jalur tersebut. Tak henti-henti pula aku mencari informasi dari setiap kampus negeri yang memang

aku dambakan sejak dulu. Tak pernah sekalipun aku izin ke kamar mandi saat pelajaran di kelas

sedang berlangsung. Karena aku takut tertinggal pelajaran walau hanya satu halaman.

 

Sore itu, sepulang sekolah aku mendengar ibu dan papa berdiskusi mengenai biaya kuliah

kakakku. Biayanya cukup mahal sehingga harus menjual mobil yang biasa papa kendarai untuk

bekerja. Hal itu membuat aku semakin berfikir untuk meringankan beban kedua orangtuaku saat ini

dan dimasa yang akan datang. Keesokannya, aku datang ke ruang kepala sekolah dan mencari tau

apakah ada perlombaan yang berhadiahkan uang. Ibu kepala sekolah sempat menganggapku remeh

karena aku adalah murid pemalu dan hanya lomba puisi tingkat kota yang tersedia. Akhirnya mau

tidak mau aku mendaftarkan diri mengikuti lomba tersebut. Saat itu kedua orangtuaku tau

bahwasannya aku mengikuti lomba puisi, kedua orangtuaku tidak ada yang mendukung karena

mereka khawatir akademikku akan turun.

 

Aku tetap berusaha menyeimbangkan antara latihan berpuisi dengan belajar akademik.

Impianku masih sama, lolos jalur SNMPTN. Setiap ada acara atau pensi di sekolah, aku tak pernah

ikut berbaur dengan teman-temanku, karena memang aku adalah anak bully-an yang kerjaannya

hanya belajar dan kebetulan aku tidak memiliki fisik yang cantik sehingga tidak jarang teman-teman

ku melihat jijik ke arahku. Tak pernah se hari pun aku tidak berlatih dan belajar. Hingga perlombaan

pun tiba.

 

Aku tidak merasakan tegang ataupun gugup, karena aku tidak mengenal mereka dan kedua

orangtuaku pun tidak mendukungku . tetapi aku tetap berusaha sebaik mungkin diatas panggung.

Tiba akhirnya pengumuman dan ternyata aku lolos ke tingkat provinsi. Tapi aku sudah tidak

ditempat acara, aku hanya dapat kabar dari kepala sekolahku yang sedang mengajar di sekolah.

Karena saat pengumuman, guru yang mendapingiku mengajakku untuk pulang karena ada hal

penting yang ingin dikerjakan, guruku juga meninggalkanku dipinggiran jalan dan hanya

membekaliku informasi mengenai angkot arah rumahku, sedangkan aku murid baru dari kota yang

berbeda.

 

Hari demi hari berlalu, bersyukur aku dapat ranking 1 di kelas, dan itu terus terjadi. Terlebih

kedua orangtuaku semakin bangga karena hadiah dari menang lomba berpuisi ku mendapat gratis biaya SPP selama 6 bulan, dimana biaya tersebut per bulannya menginjak hampir 1 juta. Aku juga

semakin rajin mengikuti perlombaan tingkat kota lainnya seperti olimpiade Matematika dan juga

cerdas cermat.

 

Tiba akhirnya pendaftaran SNMPTN, semua sudah disiapkan secara matang, bahkan jauh

dari pendaftaran. Aku selalu memastikan semua nilai ku naik dan terus konsisten. Segala shunnah ku

kerjakan bahkan sudah terbiasa sejak 10 SMA. Aku juga menyiapkan plan b dan c, yaitu SBMPTN dan

ujian mandiri. Semua universitas negeri di pulau jawa sudah ku daftar. Tapi ternyata tak satupun

kampus menerima keberadaanku. Total 15 kampus menolakku dalam kurun waktu 3 bulan,

sedih..sangat sedih. Semua barang di kamar sudah hancur karena ku lempar, demi melampiasan

sakitnya kegagalan. Sempat menyalahkan Allah atas skenario Nya yang sangat menyakitkan. Seketika

mimpiku ingin mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri hilang.

 

Ibu menyuruhku untuk mendaftar Perguruan Tinggi Swasta, awalnya aku menolak, tapi ibu

terus memohon agar aku tidak semakin sedih karena akan melihat teman-temanku yang lain sudah

masuk kuliah. Akhirnya aku menerima tawaran ibuku. Aku masih belum bisa menerima kegagalan

ini.

 

Saat mulai kuliah, tak jarang aku ditunjuk dosen untuk memimpin kelas beliau dan mengikuti

lomba mewakili kampus. Organisasi pun aku terpilih sebagai ketua yang fokus pada hubungan

eksternal kampus. Sampai suatu saat aku menang dalam lomba kejuruanku dan mendapat beasiswa

untuk melanjutkan perkuliahan S2 di Amerika. Kaget, senang, terharu, bersyukur.... tak menyangka

ternyata Allah punya skenario yang sangat amat indah yang selama ini sempat aku ragukan. Aku

masih tak menyangka, aku bisa dapat beasiswa kuliah S2 di Amerika karena aku ditolak Perguruan

Tinggi Negeri. Mungkin jika saat itu aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri, aku tidak akan bisa

dapat beasiswa S2 di Amerika. Dari kejadian ini aku sadar, aku memang gagal pada 15 Perguruan

Tinggi Negeri. Tapi bukan berarti aku akan gagal dimasa depanku. Ya, usaha memang tidak pernah

mengkhianati hasil. Tapi jika hasil tidak sesuai rencana, bukan berarti usaha kita kecil. Yakinlah,

bahwa kejutan terindah sudah diatur oleh Yang Maha Adil.

 

Percayalah, disetiap hitamnya kepahitan pasti ada putih yang selalu berdampingan...

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Hitamnya Putih

Trending Now

Iklan

iklan