Sekolah adalah bagian dari Lembaga Pendidikan

Minggu, 04 Oktober 2020 | 16:21 WIB Last Updated 2020-10-04T09:21:47Z

 



Sekolah (Ing.: School; atau Lat: Scola) adalah suatu lembaga pendidikan, yaitu lembaga yang menyelenggarakan fungsi pendidikan.  Berbeda dengan keluarga atau rumah tangga yang juga sama-sama menjalankan fungsi pendidikan, sekolah merupakan lembaga pendidikan formal, sementara rumah tangga adalah pendidikan non-formal. Hal itu berarti bahwa secara de jure, sekolah adalah satu-satunya lembaga yang secara khusus melaksanakan fungsi pendidikan bagi setiap masyarakat atau warga negara.

Memang disadari bahwa secara dasariah (fitrah) yang bertanggungjawab untuk memberi pendidikan bagi setiap anak adalah orang tua dalam suatu keluarga. Begitu anak lahir, maka melekat didalamnya adalah kewajiban orang tua untuk mengasuh dan mendidiknya. Seluruh ajaran agama-agama sebagai sumber nilai universal kemanusiaan, juga telah menegaskan tentang hal tersebut. Maka, orang tualah yang sejak kecil membimbing anak-anak mereka untuk bisa berjalan, makan, mengenal akan dunia sekitar, dan lain-lain. Orang tua pula yang bertanggung jawab –sampai pada batas-batas tertentu-- untuk mengupayakan kebutuhan anak-anak mereka: sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal), dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Demikianlah, kehidupan berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia merupakan rangkaian proses pendidikan antar generasi yang terbentang dalam sepanjang sejarah kemanusiaan sehingga terjadi transfer pengetahuan, budaya, sosial, ideologi, ketrampilan, dan lain-lain. Namun, sejalan dengan perkembangan sosial budaya dan tuntutan kebutuhan, berubah pula model pendidikan. Jika pada zaman sebelumnya para orang tua –dan juga didukung dengan lingkungan sosial yang melingkupi-- dapat mengawal dan memenuhi kebutuhan pendidikan para generasi penerusnya, kini kita tiba pada suatu masa dimana peran orang tua dan lingkungan memiliki banyak keterbatasan, terutama ketika anak-anak butuh dan harus mengenal dunia secara lebih luas, anak-anak harus memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan. Mereka harus mampu membaca, menulis maupun berhitung; mereka juga harus paham bagaimana tata cara berinteraksi dengan orang lain; dan seterusnya.

Pada titik inilah, tidak sedikit orang tua yang memiliki keterbatasan untuk mengawal dan memenuhi kebutuhan pengetahuan anak akan dunia sekitarnya, baik keterbatasan pengetahuan, waktu, sarana, dan lain-lain. Terlebih di tengah perubahan dan perkembangan zaman industrial seperti sekarang ini, setiap keluarga sudah dihadapkan dengan tantangan ekonomi yang makin kompleks. Jika pada masa lalu sebagian sumber-sumber ekonomi keluarga banyak ditopang dengan kondisi alam yang masih melimpah; namun di tengah iklim industri seperti sekarang ini semuanya sudah mengalami rasionalisasi dan komersialisasi. Konversi lahan-lahan petani telah menjadikan sebagian petani banyak beralih ke sektor perburuhan di dunia indutri; sementara bagi yang tetap bertahan dengan petani, mereka harus menghadapi kenyataan perubahan musim yang seringkali kurang bersahabat dan kebijakan pangan yang mengakibatkan biaya tinggi bagi petani (harga pupuk yang melambung, sewa lahan yang tinggi, harga gabah yang rendah, dan lain-lain). Hal yang sama juga dialami bagi para peternak yang tergerus karena banyak lahan yang sudah menjadi area pemukiman; dan jenis pekerjaan lain yang mengandalkan sumber daya alam. Tuntutan industrialisasi telah menguras konsentrasi sebagian besar orang tua sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi waktu untuk menjalankan fungsi pendidikan secara intensif bagi anak-anak. 

Sekolah kemudian menjadi hal yang mutlak. Kehadiran lembaga pendidikan (baca: sekolah) menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar. Hal itu tidak hanya sekedar menjadi status pendidikan bagi seseorang, lebih dari itu keberadaan sekolah menjamin bahwa seseorang dapat mengenyam dan memperoleh pendidikan secara layak. Karena pendidikan itu sendiri adalah kebutuhan primer dan hak dasar bagi setiap orang. Pendidikan menjadi sarana bagi terciptanya generasi yang lebih baik dan berkualitas, yang pada akhirnya dapat terwujudnya iklim kehidupan yang lebih baik. “Bukan hanya hidup, tapi kehidupan yang lebih baik itulah yang layak untuk dihidupi,” demikian ungkap  Filosof Yunani, Sokrates.

Maka dapat dipahami jika dalam beberapa tahun belakang ini perkembangan jumlah sekolah terus meningkat sangat signifikan. Ada lembaga sekolah yang dikelola oleh pemerintah, dan tidak sedikit sekolah yang didirikan dan dikelola oleh unsur masyarakat (swasta). Menurut data statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, jumlah sekolah di Indonesia adalah sebagai berikut: 

Grafik 1

Jumlah Sekolah/Madrasah di Indonesia

2019/2020

 Sumber : https://referensi.data.kemdikbud.go.id/index11.php


Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan juga semakin kompleksnya tantangan yang dihadapi oleh masing-masing keluarga Indonesia sehingga mengalami keterbatasan untuk menjalankan fungsi pendidikan bagi putra-putrinya. Terlebih disadari pula pentingnya kehadiran sekolah kini bahkan tidak lagi sekedar untuk mereka yang disebut dengan anak-anak usia sekolah (yaitu usia minimal 7 tahun). Sekarang ini telah dirasakan pentingnya kehadiran lembaga yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak usia dini. Oleh karena itulah, hampir di setiap kota –bahkan juga sudah merambah ke desa-desa—sudah berdiri apa yang sering disebut dengan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Alhasil, kehadiran sekolah merupakan hal yang mutlak. Sekolah menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan fungsi pendidikan bagi generasi. Sekolah juga menjadi tumpuan bagi anak-anak akan hak-hak pendidikan mereka. Persoalannya sekarang adalah: bagaimana sekolah-sekolah yang ada tersebut dapat menjamin bahwa setiap anak dapat memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu, sehinga melahirkan para generasi bangsa ini yang penuh dengan keluhuran budi, kehebatan ilmu, kecanggihan teknologi, dan hal-hal yang sejenis? Dengan kata lain, bagaimana sekolah tidak hanya sekedar menjalankan, tapi menjalankan dengan baik fungsi pendidikan sehingga dapat melahirkan generasi yang berkualitas.

Dengan tolok ukur kuantitatif, sebagian besar wilayah di Indonesia telah menunjukkan angka partisipasi pendidikan yang cukup tinggi. Namun, hal itu terjadi pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pertama, sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel

Angka Partisipasi Sekolah (APS) 2019

Sumber data: Badan Pusat Statistik


Tabel APS tersebut berkorelasi secara relatif terhadap jumlah satuan pendidikan. Seperti ditunjukkan pada Grafik diatas, jumlah satuan pendidikan tingkat dasar mencapai 175.102. Jumlah tersebut menurun tajam untuk jumlah satuan pendidikan tingkat pertama, yaitu sebesar 59.443; dan mengalami penurunan pada satuan pendidikan tingkat menengah atas, yaitu 37.414. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat gap antara jumlah satuan pendidikan pada tiap tingkatan. Diasumsikan, jika lulusan pada satu SD/MI adalah paralel dengan penerimaan pada satu SMP/MTs, maka jumlah satuan pendidikanSMP/MTs tentu saja sama dengan jumlah pada satuan SD/MI. Namun, dengan merujuk data diatas, terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara jumlah SD/MI dan SMP/MTs. Jumlah SMP/MTs hanya sebesar 34% dari jumlah SD/MI; dan terdapat kesenjangan sebesar 115.659. Hal itu berarti bahwa untuk dapat menampung secara keseluruhan para lulusan SD/MI, maka satu SMP/MTs harus dapat melayani minimal lulusan dari 3 SD/MI. Jika tidak, maka dipastikan akan banyak anak-anak yang drop out (DO). Begitu pula dari SMP/MTs ke jenjang SMA/MA/SMK.

Data diatas menunjukkan, meskipun APS menunjukkan prosentase yang tinggi, namun hal itu masih menyisakan beberapa persoalan terkait dengan rasio ketersediaan ruang sekolah.

Sementara itu, Data Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2020 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 65 dari 132 negara. Di tingkat ASEAN, Indonesia berada dibawah Singapura, Malaysia, Brunei dan Filipina.


Sumber : Global Talent Competitiveness Index 2020


GTCI merupakan laporan tahunan yang mengukur bagaimana suatu negara dan kota berkembang menyediakan sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing.Indikator yang menjadi pemeringkatan dalam Global Talent Competitiveness Index ini adalah pendapatan per kapita, pendidikan, infrastruktur teknologi komputer dan informasi, gender, lingkungan, tingkat toleransi, hingga stabilitas politik di suatu negarta tersebut.Laporan yang dirilis oleh INSEAD ini mempunyai beberapa aspek mengenai pendidikan yang menjadi ukuran di antaranya adalah pendidikan formal, vokasi, literasi (baca, tulis, hitung), peringkat internasional universitas, jurnal ilmiah, mahasiswa internasional, relevansi pendidikan dengan dunia bisnis, jumlah lulusan teknisi peneliti, jumlah hasil riset, dan jumlah ilmiah.

Sementara itu, laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) juga menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia masih di bawah rata-rata organisasi tersebut. Studi yang menilai 600.000 anak berusia 15 tahun di 79 negara, baik berpenghasilan tinggi maupun menengah membandingkan kemampuan membaca, matematika, dan kinerja sains dari setiap siswa.Hasil itu menunjukkan bahwa kondisi anak Indonesia pada 3 (tiga) kategori tersebut masih berada dibawah dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan dengan negara ASEAN.

 

Grafik 2

                             Kemampuan Membaca, Matematika, dan Sains Siswa Indonesia                      

Matematika= Merah

Sains=Biru

Hijau= Membaca

Sumber : Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), 2019

Pada kategori kemampuan membaca, Indonesia meraih skor rata-rata yakni 371 atau peringkat 74, jauh di bawah Thailand yang peringkat 68, Malaysia peringkat 58, dan Singapura di peringkat 2. Untuk kemampuan matematika, Indonesia berada di peringkat ke-73, tertinggal dari Thailand yang di peringkat 58, Malaysia di peringkat 48, dan Singapura di peringkat 2. Sementara kemampuan sains, Indonesia berada di peringkat 71 dengan skor sebesar 396, berada di bawah rata-rata OECD yang sebesar 489.

OECD juga mencatat, sekitar 30% siswa di Indonesia yang kemampuan membacanya berada di tingkat cukup tinggi atau berada di level 2,dari rata-rata OECD yakni 77 % siswa. Untuk kemampuan matematika, hanya 28% siswa Indonesia yang mencapai kemahiran level 2 (menafsirkan dan mengenali, tanpa instruksi langsung, bagaimana situasi dapat direpresentasikan secara matematis). Kemampuan sains, sekitar 40% siswa Indonesia mencapai level dua (siswa mampu mengenali penjelasan yang benar untuk fenomena ilmiah yang dikenal dan dapat menggunakan pengetahuan tersebut untuk mengidentifikasi, dalam kasus-kasus sederhana).

Jika memang demikian halnya, apakah hal itu menunjukkan bahwa kualitas otak siswa-siswa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan kualitas siswa negara OECD? Tidak juga, karena banyak siswa yang sudah menunjukkan kemampuannya untuk bersaing di level internasional. Bahkan siswa-siswa Indonesia rata-rata memperoleh medali setiap mengikuti olympiade Internasional. Namun demikian, keberadaan siswa-siswa unggul tersebut belum berbanding lurus dengan kondisi massal pendidikan nasional. Raihan medali ataupun prestasi internasional --dan beberapa prestasi lain-- masih menjadi prestasi ‘personal’, belum menjadi spirit massal bagi pendidikan Indonesia secara massal. Tak pelak, persoalan kualitas –secara massif-- masih menjadi persoalan besar bagi pendidikan nasional. Konsekuensinya, diperlukan komitmen dan strategi pengembangan yang efektif, khususnya dari para pengelola dan praktisi sekolah.

Sebagai lembaga pendidikan, sekolah dituntut untuk terus berbenah dengan mengembangkan manajemen tata kelola sekolah yang baik (good governance). Tata kelola sekolah yang baik menjadi prasyarat bagi keberhasilan suatu proses pendidikan yang dijalankan di sekolah tersebut, dan pada akhirnya akan memberi kontrinbusi yang signifikan bagi pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Tata sekolah yang baik akan memberi ruang dan juga kesempatan yang proporsional kepada para siswa untuk mengembangkan potensi mereka secara optimal. Jika tidak, sekolah hanya menjadi beban masalah, baik bagi para individu pelaksana sekolah, masyarakat maupun negara.

“Tata kelola yang baik” dalam konteks ini juga bukan sebatas tata kelola yang hanya menjalankan rutinitas sebagaimana tertuang dalam ketentuan maupun prosedur. Lebih dari itu, “tata kelola yang baik” adalah tata kelola sekolah yang memperhatikan aspek pengembangan profesionalisasi para civitas sekolah, aspek relevansi maupun daya antisipatif sekolah dengan perubahan dan dinamika perubahan sosial kebudayaan masyarakat, aspek transparansi dan accountabilitas, dan hal-hal lain yang terkait. Dapat dikatakan, tata kelola sekolah yang baik adalah tata kelola yang mencerminkan dinamika sekolah yang mampu memahami zamannya dan berusaha merespon untuk menjawab tantangan-tantangannya (Buchori, 2005: 25). Tujuannya jelas, yaitu untuk menjadikan seluruh civitas sekolah (kepala sekolah, pengawas, guru, tenaga administrasi dan juga para siswa) dapat menghadapi dan menjawab tantangan zamannya dengan cepat dan tepat, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, ideologi dan lain-lain.

 *Oleh: Abdul Rahman A. Ghani

Wakil Rektor I UHAMKA

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Sekolah adalah bagian dari Lembaga Pendidikan

Trending Now

Iklan

iklan