Karya Nurul Farhanah
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UHAMKA)
Anggara terdiam di bangku makan, badannya sangat lelah rasanya. Baru selesai menyelesaikan tugas yang tak main-main banyaknya, tetiba penanggung jawab kelasnya memberikan informasi tugas baru dari Bu Endang dengan batas waktu pengumpulan besok siang. Anggara lelah, semakin banyak tugas yang diselesaikan tetapi semakin banyak pula tugas yang datang. Memang semenjak pandemi dan kegiatan pembelajaran dilakukan jarak jauh dari rumah, segala penilaian dilakukan dengan bentuk penugasan. Anggara sangat ingin cepat-cepat selesai, ia sangat lelah. Pernah sesekali ia ingin protes, tetapi bukankah kesannya seperti menggurui? Jadi yang bisa dilakukannya hanyalah mengerjakan tugas sesegera mungkin dan sisanya mengeluh bersama teman-temannya yang sependapat dengannya.
Anggara membuka ponselnya, melihat-lihat status dari teman-teman jaman sekolahnya melalui media sosial. Dari status teman-temannya menunjukkan aktivitasnya yang beragam, ada yang sedang berlibur dengan keluarganya, ada yang sedang berbahagia karena mendapatkan nafkah pertamanya, ada yang sedang mempersiapkan pernikahannya, bahkan ada yang sedang mempersiapkan kelahiran buah hati pertamanya. Anggara tersenyum kecil, melihat kebahagiaan yang terpancar dari status teman-temannya.
Setelah mematikan ponselnya, ia menghela napas mengasihani dirinya sendiri. Teman-temannya sudah memiliki tujuan hidup mereka, kebahagiaan mereka, kenapa dirinya belum? Ia malah sedang dalam masa-masa lelah dan suntuk karena tugas yang tak selesai-selesai, serta sebuah ketakutan bagaimana nanti setelah semuanya selesai? Apakah ia akan telat memulai tertinggal teman-temannya yang telah mencapai kebahagiaan hidup? Tetiba ia merasa jantungnya berdegup kencang, sebuah kekhawatiran sedang memburunya. Anggara langsung membenarkan posisi duduknya menarik napas yang dalam.
“Anggara? Kenapa?” suara Ibu mengagetkan Anggara.
“Eh, Bu. Nggak apa-apa”, senyum Anggara bimbang.
“Kenapa kaya kaget banget gitu loh, Ngga?”
“Gapapa, Bu”, Anggara tahu dia tapernah bisa menyembunyikan apapun pada Ibu.
“Oh, Ibu kira kamu kenapa soalnya. Bagus deh kamu gak apa-apa”, Ibu duduk di samping Anggara membaca sebuah buku yang baru dibeli Kakak sore tadi.
Anggara terdiam melihat Ibu, di dalam hatinya ada pertanyaan besar yang sangat ingin ia tanyakan kepada ibunya. Ibu selalu memiliki jawaban paling tepat untuk segala pertanyaan Anggara. “Bu, lihat deh!”, Anggara mendekat ke Ibu sambil menunjukkan sesuatu di ponselnya.
“Siapa ini, Ngga?”, Ibu mengamati seorang laki-laki yang sedang ditunjukkan oleh Anggara dari ponselnya.
“Ini Dion, Bu. Temen SMA Anggara dulu. Dia udah kerja dari lulus SMA, nah sekarang dia kayanya lagi makan sama orang tuanya pake uang kerja dia”.
“Wah, hebat dong temenmu itu, Ngga. Kerja dimana dia?” , jawaban Ibu membuat Angga sedikit berkecil hati. “Gatau, Bu. Kayanya udah pindah kerjaan dari tempat lamanya sehabis pandemi ini, hebat dia yah, Bu?” ucap Anggara sedikit lesu.
Ibu menangkap sesuatu yang ganjal dari pernyataan Anggara, bukan sebuah kesetujuan melainkan sebuah rasa tidak percaya diri. Ibu menatap wajah Anggara, “Loh, kenapa Angga?”. Anggara terdiam menatap wajah Ibu, tatapannya sendu.
“Bu, Kenapa dulu Anggara gak kerja ajah ya? Kenapa Anggara malah kuliah dulu yah, Bu? Kalo kerja kan ketahuan punya uang sendiri, bisa bahagiain Ibu sama Ayah. Kuliah, mana nugas mulu, belum punya penghasilan” keluh Anggara kepada Ibu.
Ibu tersenyum, mengetahui putranya sedang di masa tidak percaya diri karena sedang lelah. “Lagi banyak tugas yaa, Ngga?” senyum usil Ibu menyapa wajah Anggara. Meskipun Anggara tak menjawab, Ibu paham. “Sekarang, kamu mau apa dong?”, tanya Ibu lagi.
“Anggara mau punya mesin waktu ajah kali yaa, Bu. Biar balik ke masa habis lulus SMA, Anggara bakalan milih langsung kerja ajah, gak kuliah dulu”
Dengan hangat, Ibu menatap Anggara.
“Angga, gak semua yang kamu lihat sesuai dengan apa yang terjadi”
“Apa yang sekarang kamu lagi keluhkan, bisa jadi apa yang teman-teman kamu harapkan di luar sana. Bisa jadi nih ya, si Dion itu juga pengen ngerasain bangku kuliah kaya kamu. Bergaul sama anak-anak yang seumuran trus ngebahas tentang tugas trus berjuang buat dapetin gelar sarjana”, ucap Ibu lagi.
“Kamu gak perlu mesin waktu untuk kembali ke keadaan yang dulu biar ngubah yang sekarang. Kamu hanya perlu berjuang untuk perubahan memperbaiki yang sekarang menjadi yang lebih baik. Selesain apa yang kamu udah mulai dan kamu jalanin”, Ibu menghela napas sebentar, lalu melanjutkan ucapannya. “Kamu lihat Dion bahagia-bahagia ajah kan?”, Anggara mengangguk pelan terhadap perkataan Ibu,
“Kamu gak tahu kan, apa ajah susah yang udah dijalanin Dion sampe-sampe dia pindah kerjaan sebenernya karna dia terdampak pemberhentian karyawan mendadak karna pandemi yang melanda ini, Ngga”, Anggara terkesiap sejenak. Betul juga, ia tak terpikir alasan apa yang membuat Dion pindah dari kerjaan lamanya, bisa jadi karna Dion merupakan salah satu karyawan yang dihentikan secara tiba-tiba oleh tempat kerjanya karena dampak dari pandemi yang melanda. Entah apa yang saat itu Dion rasakan sampai ia kembali mendapatkan pekerjaan yang baru.
“Anggara, karena kamu udah sampai tahap ini kamu harus lakuin yang terbaik, lelah itu biasa. Gantinya akan ada hasil yang membuat kamu masyaAllah bahagianya”, ucap Ibu lagi.
Anggara tersenyum, perkataan Ibu ada benarnya. Ia tak perlu memutar waktu untuk mengubah keadaan, tetapi harus ia jalani dengan berusah membuatnya menjadi lebih baik. Di satu sisi ia bersyukur ada orang yang mendengarkannya dan memberikan masukan terbaik untuknya.