Kabarpendidikan.id Ketika Pandemi Covid-19 melanda, mengahdirkan sebuah keterkejutan yang mendorong pada sebuah inovasi baru khususnya dalam dunia pendidikan. Dilansir dari laman wantiknas.go.id (11 April 2020), masa pandemi ini mengajarkan kita mengenai inovasi-inovasi terbarukan khususnya dalam dunia pendidikan.
Ragam kemudahan dalam pembelajaran era pandemi ini antara lain; waktu belajar yang lebih fleksibel dan dapat diatur sendiri, akses yang lebih bebas dimanapun, biaya yang lebih sedikit, serta wawasan yang jauh lebih luas karena tidak hanya mengandalkan materi yang disampaikan oleh guru saja. Hal ini tentu saja membuat siswa jauh lebih mampu mengembangkan kemampuannya dan belajar untuk mendisiplinkan dirinya dalam mengatur waktu belajar dan bermain selama pembelajaran dari rumah. Tidak hanya itu, dengan kemudahan akses materi pembelajaran dimanapun tentu siswa tidak harus berada di satu tempat saja selama masih terkoneksi dengan jaringan internet.
Dalam situasi pandemi ini, kegiatan pembelajaran dilakukan dari rumah tentu menjadi lebih hemat biaya perjalanan. Biaya yang dikeluarkan justru untuk pemenuhan kuota internet agar tetap terhubung dalam kegiatan pembelajaran. Siswa juga selama pembelajaran jarak jauh sebenarnya mendapat peluang lebih luas dalam mengeksplorasi materi yang disampaikan dari berbagai sumber yang dapat diakses.
Kemudahan-kemudahan ini memang menjadi keuntungan tersendiri, khususnya bagi siswa yang senang dengan gaya multitasking. Kita mampu mengerjakan lebih dari satu tugas atau kegiatan dalam waktu yang bersamaan dimanapun dan kapanpun. Kemampuan multitasking ini memang sedang banyak sekali dicari dalam kualifikasi pekerjaan. Kemampuan multitasking juga menggambarkan karakter fleksibilitas, tanggung jawab penuh, serta adaptasi cepat terhadap perubahan. Kemudahan-kemudahan yang hadir pada masa pandemi ini mengajarkan kita untuk berinovasi lebih jauh dalam hal menciptakan sebuah kemudahan dalam menyelesaikan tugas.
Kita bisa langsung melakukan eksplorasi secara literasi dari beragam sumber media seperti jurnal ilmiah, e-books, maupun konten-konten video yang tersedia di laman youtube. Daya cipta kita menjadi tanpa batas karena kelonggaran waktu yang ada dibandingkan Ketika kelonggaran waktu yang ada dimanfaatkan untuk menunjang fleksibilitas, tentu secara langsung siswa terdorong untuk menghasilkan sebuah karya atau menemukan sebuah aktivitas baru dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada. Media-media sosial banyak memunculkan influencer dengan beragam karya positifnya. Belajar tidak hanya soal materi, namun juga cara kita mengaplikasikan ilmu yang kita dapat dari pembelajaran tersebut.
Namun, pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini juga memiliki dampak negatif yang muncul. Dilansir dari laman kompas.id (27 April 2020) Jejak pendapat yang dilakukan oleh KPAI pada 13-20 April 2020 menghasilkan data 76,7 % siswa mengeluhkan sulitnya pembelajaran jarak jauh ini. Sebanyak 76,7% siswa yang menjadi responden mengaku tidak senang mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ), 81,8% beralasan bahwa selama kegiatan pembelajaran jarak jauh ini hanya diberikan tugas oleh guru dan jarang sekali mendapat penjelasan materi serta mengadakan diskusi materi. Lalu, sebanyak 73,2% responden menyampaikan bahwa dirinya mendapat tugas dengan durasi waktu yang pendek. Hal ini tentu menciptakan sebuah distraksi mental bagi siswa yang menjadi masalah baru dalam pembelajaran era pandemi ini.
Pada awal pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ), seluruh pihak khususnya dalam lingkungan pendidikan mengalami culture shock yang cukup signifikan. Orang tua mendadak harus menjelaskan, membimbing, sekaligus mengawasi anaknya selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Guru juga harus secara cepat beradaptasi menggunakan beragam media daring yang sekiranya dapat menunjang kegiatan pembelajaran, siswa pun juga dituntut untuk tetap disiplin dan ikut beradaptasi dengan media daring yang digunakan oleh gurunya agar kegiatan pembelajaran dapat tetap berlangsung. Menjadi satu hal yang mudah dilalui pada saat itu bagi guru, orang tua, dan siswa.
Tidak hanya itu, Indonesia yang memang masih memiliki banyak keterbatasan terutama dalam teknologi di dunia pendidian menghadirkan ragam persoalan tersendiri pada masa pandemi. dilansir dari laman wantiknas.go.id (11 April 2020) pembelajaran era pandemi ini ternyata memiliki kekurangan yang justru tidak kalah menimbulkan persoalan baru, dianataranya; akses internet yang sering tidak stabil, interaksi yang terbatas antara guru dan siswa, kurangnya pemahaman materi yang disampaikan, serta pengawasan yang juga terbatas hingga kehilangan fokus dalam belajar. Interaksi langsung yang seketika terhenti dan dialihkan dengan interaksi melalui media virtual menyebabkan guru, orang tua, dan siswa mengalami kesulitan tersendiri. Akses internet yang tidak stabil menjadi alasan paling dominan jika ditanyakan mengenai kesulitan dalam kegiatan pembelajaran pada masa pandemi ini.
Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak akan tahan dengan interaksi yang terbatas hanya di media maya saja, tentu tetap membutuhkan interaksi yang bersifat langsung tanpa perantara apapun. Interaksi menggunakan media virtual justru lebih banyak menguras energi. Pengawasan yang dilakukan juga tidak sama seperti pembelajaran sebelum pandemi. guru tidak tahu hasil kerja siswa yang dikumpulkan benar dikerjakan langsung oleh siswa bersangkutan. Orang tua pun juga harus lebih cermat lagi membagi waktu antara mendampingi anaknya belajar daring dengan menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya. Distraksi-distraksi tersebut yang berjalan waktu akan meracuni mental orang tua, guru, dan siswa sehingga mengalami stres berlebih.
Puncak dari segala permasalahan yang muncul pada siswa ialah penurunan kendali mental. Hal ini diakibatkan dari beban belajar yang dirasa lebih berat dan menekan dari segi waktu. Dilansir dari laman beritasatu.com (21 Oktober 2020), Kak Seto Mulyadi menuliskan opini bahwa banyak siswa yang mengalami stres traumatik akibat dari pembelajaran daring yang hanya menatap layar monitor saja, padahal secara kodrati siswa lebih senang dengan adanya interaksi baik interaksi antar siswa maupun dengan guru. Orang tua yang memang tidak seluruhnya memiliki pengetahuan pedagogik juga mengalami kesulitan, khususnya dalam menyampaikan materi dan penggunaan teknologi sebagai media pembelajaran. Para guru juga memiliki persoalan yang tidak berbeda. Kondisi yang secara mendadak berubah membuat mayoritas guru juga harus memikirkan media pembelajaran lain yang mampu memudahkan kegiatan pembelajaran. Dengan cara mereka sendiri kegiatan pembelajaran dikemas agar siswa tetap mendapat materi pembelajaran meski dalam kondisi yang virtual. Ketika guru, siswa, dan orang tua sudah saling terbentur dengan persoalannya masing-masing, pembelajaran jarak jauh seketika berubah menjadi kegiatan yang menjenuhkan.
Para psikolog menyebut kekacauan yang dialami khususnya pada siswa dengan istilah student burn out. Istilah ini menyebutkan bahwa siswa mengalami kelelahan yang sangat dalam hingga sulit kembali berkonsentrasi kembali pada materi pelajaran yang disampaikan. Tanda siswa telah mengalami student burn out diantaranya; merasa kelelahan yang ektrim sampai emosi tidak terkendali, bertindak selalu menjauhi tugas-tugas yang diberikan, dan lebih senang menunda pekerjaan. Jika kondisi ini tidak segera diatasi, tentu siswa akan mengalami depresi dalam skala kecil hingga sedang. Semakin menumpuknya tugas yang ditunda, hilang konsentrasi terhadap materi pelajaran, dan emosi yang tidak dapat diluapkan akan menghancurkan diri siswa bersangkutan. Salah satu Tindakan yang dilakukan adalah percobaan bunuh diri yang juga sempat menghebohkan dunia pendidikan tahun 2020 lalu.
Pada akhirnya, pemerintah memberikan putusan untuk memperbolehkan pembelajaran tatap muka di sekolah untuk mengatasi bermacam persoalan yang terjadi. Dilansir dari laman kompas.com (8 Agustus 2020), setelah mengevaluasi kegiatan pembelajaran selama pandemi ini yang dinilai sangat menyulitkan guru, siswa dan orang tua pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan untuk membuka kembali sekolah dan mengizinkan kembali kegiatan pembelajaran tatap muka di sekolah dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan yang ketat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim mengatakan bahwa pembelajaran tatap muka diperbolehkan, bukan memaksakan. Kegiatan pembelajaran di sekolah dapat diperbolehkan jika sudah mendapat izin dari pemerintah daerah, pihak sekolah (kepala sekolah dan komite sekolah), dan orang tua siswa. Solusi ini tidak lantas menyelesaikan masalah yang terjadi. Penyebaran virus Covid-19 yang semakin tidak terkendali menimbulkan kekhawatiran bagi para orang tua dan dinas pendidikan provinsi akan adanya klaster baru. Walaupun ada wilayah yang mengizinkan untuk mengadakan pertemuan tatap muka langsung di sekolah, namun tetap hal ini masih menjadi kajian tersendiri khususnya dalam penerapan protokol kesehatan saat kegiatan tatap muka berlangsung.
Keputusan memperbolehkan kembali siswa belajar tatap muka langsung di sekolah tentu bukanlah keputusan yang mudah. Pro dan kontra terhadap keputusan tersebut terus bermunculan. Satu sisi kegiatan pembelajaran harus berjalan se-efektif mungkin ditengah kondisi pandemi saat ini. Namun disisi lain, siswa telah banyak sekali mengalami student burn out akibat banyaknya tugas yang diberikan dan situasi di rumah yang tidak lagi kondusif hingga memicu stres. Jika tatap muka dilakukan sepenuhnya walaupun dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, tidak dapat menjamin siswa, guru, dan orang tua yang mengantar-jemput akan tidak menjadi perantara penyebaran virus Covid-19 ini, namun jika tidak melakukan tatap muka secara langsung, siswa semakin tidak mengerti dengan materi pelajaran yang disampaikan dan student burn out yang dialami oleh siswa akan semakin memburuk. Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Pihak sekolah masih terus memantau perkembangan positive rates kasus Covid-19 di daerahnya masing-masing. Fleksibilitas yang dihadirkan sebenarnya dapat menjadi sisi positif yang mendukung perubahan diri, khususnya perubahan dalam metode pembelajaran konvensional. Namun jika fleksibilitas tersebut justru menciptakan student burn out, hal ini harus di evaluasi kembali dan patut menjadi perhatian bersama. Solusi dalam pembelajaran daring tidak hanya sebatas kembalinya siswa belajar di sekolah, namun ragam inovasi yang diciptakan oleh semua pihak yang mampu menjawabnya.
(Melinda Rahmawati /Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Uhamka)