[In Depth] Kuliah Online Mahasiswa Korban Corona

Kamis, 10 September 2020 | 14:49 WIB Last Updated 2020-09-10T07:49:01Z



KabarPendidikan.id- SUDAH lewat satu bulan lebih pandemi virus SARS-Cov-2 (Covid-19) mewabah di republik ini.  Respon dan berbagai tindakan perlawanan pun terus dilakukan seluruh elemen bangsa, khususnya pemerintah, untuk dapat memutus rantai penyebaran virus yang telah mewabahi lebih dari 213 negara di seluruh dunia. Salah satunya yaitu dengan cara menerapkan physical distancing atau pembatasan fisik.

Tentu, solusi ini berdampak pada aspek-aspek aktivitas aktif yang ada, salah satunya pada aspek pendidikan di perguruan tinggi. Satu per satu, kampus-kampus di Indonesia mulai memulangkan mahasiswanya dan menerapkan perkuliahan jarak jauh dengan sistem online. Hal itu berdasarkan juga maklumat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang digawangi Nadiem Makariem, 

Dalam pelaksanaannya, masing-masing perguruan tinggi memiliki metode pembelajaran yang berbeda-beda dengan alat yang berbeda-beda. Software dengan berbagai fitur dan layanan tertentu menjadi pilihan dosen masing-masing, sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya. Misalnya, dengan menggunakan WhatsApp, Google Classroom, Google Classmeeting, dan Zoom.

Namun problemnya di sini adalah, kampus-kampus kita masih latah dan belum memiliki kesiapan dalam berbagai hal menghadapi model kuliah online yang secara tiba-tiba diterapkan. Pasalnya hal tersebut masih sebatas solusi alternatif agar kegiatan perkuliahan tetap berjalan dan sebagai bentuk implementasi physical distancing atau gerakan #dirumahaja.

Hanya beberapa kampus besar di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terlihat dan terbilang cukup siap mengaplikasikan kuliah online ini. Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik UGM, Hatma Suryatmojo mengatakan, sebelum ada kasus virus corona, UGM sudah menyosialisasikan dan memberikan pelatihan bagi dosen untuk kuliah online dengan aplikasi yang disediakan universitas.

“Kita sudah menyosialisasikan kuliah online dengan model learning manajeman system sejak 2007. Namun ini menjadi tantangan bagi kita, bagaimana dosen dan mahasiswa harus terlibat semuanya,” katanya.

Ia melanjutkan, saat diterapkannya kuliah online, seluruh civitas akademik hampir semuanya memanfaatkan teknologi dan informasi. Hatma juga merasa beruntung karena sudah memiliki metode pembelajaran sebelum adanya virus corona. “Kita berikan keleluasaan bagi dosen. Namun yang belum terbiasa kita memberikan tutorial hingga pelatihan,” ujarnya, (Kompas, 19/03/).

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag) terlihat melakukan perkuliahan secara online ini tanpa kesiapan. Kuliah online masih dan hanya sebatas respon pada alternatif karena serangan pandemi Covid- 19. Hal tersebut terlihat dari komentar pihak Kemenag melalui Direktur Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Arskal Salim.

Salim menilai, pihaknya optimis bahwa meskipun kuliah secara online, pembelajaran tetap akan bermutu. Selanjutnya Kemenag akan terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pembelajaran agar mutu pembelajaran tidak mengurangi subtansi akademik. “Dengan Monev kita akan memastikan mahasiswa tetap mendapatkan layanan pembelajaran yang bermutu meskipun melalui pembelajaran jarak jauh,” katanya, (Republika, 10/04/).

Dalam praktik realnya, perguruan tinggi, seperti di UIN Walisongo Semarang, masih belum memiliki standar yang pakem dalam melakukan pembelajaran secara online. Metode yang digunakan diserahkan sepenuhnya kepada dosen yang mengampu mata kuliah.

Hal ini diungkapkan salah satu dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Muhammad Kudlori, yang mengaku bahwa ia harus mencari cara agar proses pembelajaran dapat berjalan seefektif kuliah tatap muka. Berbagai sistem dan metode pembelajaran dilakukan. Awalnya ia menggunakan aplikasi Zoom Cloud, tetapi karena beberapa mahasiswa yang terkendala susah sinyal di daerahnya, ia kemudian menggantinya dengan WhatsApp.

Kudlori juga menambahkan, esensi dari proses pembelajaran kurang didapatkan, mengingat mata kuliah yang diampunya, yakni Takhrijul Qur’an, membutuhkan praktik bersama-sama dan menghadirkan kitab-kitab klasik. “Proses belajarnya aslinya praktik bersama dan harus membuka-buka banyak kitab. Kalau memakai kitab digital dengan kuliah online, bisa tercapai, tapi sulit, tidak maksimal,” ujarnya 

Di kalangan mahasiswa, keluhan praktik kuliah online dirasakan dan dijelaskan oleh Siti Ropiah, mahasiswa jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo. Ia mengaku sulit memahami materi perkuliahan yang dijelaskan menggunakan aplikasi WhatsApp. Apalagi pada mata kuliah eksak dengan rumus-rumus yang rumit. “Sebenarnya membutuhkan penjelasan yang lebih detail, seperti hitung-hitungan, praktikum, dan materi yang lainnya,” katanya.

Tatap Muka Vs Online 


Kuliah online pada praktik pembelajarannya memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi melalui berbagai software dan fitur aplikasi. Dalam metode yang dipakai, sama seperti kuliah tatap muka, yakni mahasiswa menjelaskan materi dan mahasiswa lainnya turut menanggapi dengan mengajukan pertanyaan atau mengemukaan argumentasi. Kemudian yang terakhir, dosen memberikan review terhadap proses diskusi dan menjelaskan sedikit materi yang dipelajari. Hanya saja dalam implementasinya dilakukan melalui sistem online.

Namun pada faktanya hasil dari kedua sistem tersebut tidaklah sama. Proses komunikasi dan interaksi pada jam pembelajaran kurang maksimal. Hasil riset dari Journal of Experomental Social of Psicology menunjukan bahwa komunikasi via online tidak persuasif. Jika pada kuliah tatap muka, proses pembelajaran terjalin lebih komunikatif, karena mahasiswa dapat bertanya leluasa kepada dosen atau pun narasumber diskusi terkait materi yang sedang dipelajari. Kemudian, ruang diskusi lebih aktraktif karena baik dosen dan mahasiswa berkumpul dalam satu ruangan.

Berbeda dengan kuliah online, proses pembelajaran terkesan kurang aktif. Hal ini bisa dilihat ketika hanya beberapa orang yang terhubung dalam satu software dan kurang hidupnya diskursus. Iman Fuadi, mahasiswa Jurusan Ilmu Al- Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo mengungkapkan bahwa pembelajaran pada kuliah online tidak kondusif karena mahasiswa kurang fokus dalam mengikuti diskusi. “Tidak kondusif, mahasiswa masih kurang mengikuti perkuliahan dengan fokus. Sehingga sulit untuk memahami materi,” ujar Iman.

Tidak hanya itu, kendala teknis juga menambah masalah. Mulai dari masih banyaknya mahasiswa dan dosen yang gagap teknologi dan tidak mengetahui cara megoperasikan perangkat yang digunakan dalam kuliah online. Data dari pengamat pendidikan, Indra Charismiadji mengungkapkan, terdapat 97,5 persen guru yang ada di Indonesia gagap teknologi, (Fajar, 21/10).

Seperti yang dirasakan Dewi Kumala Sari, salah satu Dosen Bahasa Inggris Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara. Ia mengeluhkan teknis kuliah online karena pada awalnya kurang memahami sistem ini. Sehingga ia harus belajar dengan membaca modul terlebih dahulu.“Itu sebelum saya gunakan untuk mengajar daring ke mahasiswa. Belajar seharian dulu cara pakai aplikasinya,” ungkapnya, (Kompas, 07/04/).

Intensitas untuk terus memandang layar smartphone juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Sri Fachmi Haqiqi. Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sultan Maulana Hasanudin Makassar itu mengungkapkan bahwa kuliah online yang menuntut untuk menatap layar terlalu lama akan berdampak buruk  bagi kesehataan mata.

“Saya kurang memahami. Semangat belajar lebih besar saat kuliah tatap muka bukan kuliah online seperti ini. Kesehatan mata juga terganggu, menatap laptop dan handphone terlalu lama menyebabkan mata cepat lelah,” ujarnya. (Kabarbanten, 06/04).


Di lain sisi, beberapa pakar mengungkapkan hal yang cukup optimis. Kuliah online dianggap masih tetap dapat berjalan secara efektif namun dengan beberapa kriteria yang dimiliki. Pakar pendidikan Muhammad Zuhdi menyebutkan, terdapat empat hal yang bisa membuat pembelajaran online sama efektifnya seperti kuliah tatap muka.

Pertama, ketersediaan hardware dan software di dua sisi, yakni guru dan siswa. Kedua, ketersediaan jaringan internet yang stabil. Ketiga, kesiapan guru dan siswa untuk menggunakan hardware dan software. Terakhir, ketersediaan materi yang sudah didigitalisasi. "Tapi bila tidak siap, dengan empat kriteria di atas, tentu menjadi tidak efektif," kata Zuhdi, (Nuonline, 17/03/).

Menengok Kuliah Online Negara Maju

Di luar negeri, khususnya di negara-negara maju, pembelajaran online bukan lagi menjadi hal baru. Kuliah online telah menjadi salah satu pilihan dalam menempuh pendidikan. Banyak perguruan tinggi yang sudah menerapkan sistem kuliah online. Bahkan hal itu menjadi terbobosan seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi. Kampus luar negeri yang sudah menerapkan kuliah online antara lain Drexel University, Harvard University, Stanford University, State Pennsylvania University dan lain-lain.


Elliott Masie, pakar teknologi pendidikan dan penggagas e- Learning menjelaskan, kuliah online memiliki keuntungan tersendiri. Karena proses belajar tidak terbatas ruang dan waktu seperti berada di dalam kelas. Selama ada koneksi internet dan komputer, kini pelajar bisa kuliah di mana saja tanpa menghadiri kampus serta tidak meninggalkan rutinitas dan keluarga.

Adapun setiap perguruan tinggi memiliki sistem yang berbeda-beda. Universitas New of Mexico menerapkan kuliah online bagi semua program, mulai tingkat sarjana hingga profesional.  Universitas yang didirikan pada 1889 di Amerika ini menjamin mahasiswa kelas online bisa bersaing sama dengan mahasiswa tradisional. Untuk durasi program kuliah sendiri yakni delapan minggu dalam setahun.
Sementara State Pennsylvania University memiliki kurikulum yang fleksibel dan para dosen yang dikenal dunia. Sehingga mahasiswa dapat berkembang di lingkungan digital yang mendukung. Universitas ini memiliki lebih dari 150 program gelar dan sertifikat kuliah online baik bidang pendidikan, bisnis, teknik dan lain-lain. Sedangkan para lulusannya banyak yang menjadi perintis dan pendobrak dunia kerja dengan keahlian yang diperoleh dari pengalamannya. Lantas menerapkannya ke lingkungan kerja dan layanan komunitas.

Presiden Drexel University, Susan Aldridge mengatakan bahwa sistem pembelajaran online yang digunakan di kampusnya memiliki berbagai variasi. Sebagai contoh, dalam forum diskusi online, pengajar akan mengajukan pertanyaan kepada mahasiwa seputar materi yang sedang dibahas untuk mendorong mahasiswa ikut aktif dalam diskusi. Biasanya diskusi dapat berlansung melalui aplikasi Skype dan  Zoom.

Ia menambahkan, dalam beberapa program, pihak kampus juga beradaptasi melalui simulasi dan permainan canggih dan menarik dengan tujuan agar mahasiswa mampu mempraktikkan secara langsung pada materi yang telah dipelajari. Sementara dalam mekanismse pemberian tugas, seorang dosen meminta mahasiswa untuk memposting presentasi berbentuk video pada perangkat lunak milik kampus yang disebut acclaim.

Departemen Pendidikan Amerika Serikat mengungkapkan bahwa kapabilitas dan kualitas pemebelajaran mahasiswa kuliah online tidak jauh berbeda dengan mahasiswa yang kuliah pada umumnya. Bahkan mahasiswa yang kuliah online menunjukan kinerja lebih bagus. Mereka memiliki niai plus karena selain berpengetahuan, juga melek teknologi. Kelebihan tersebut mendorong berbagai pihak, terutama lembaga pendidikan untuk mempersiapkan regulasi dan sistem demi kualitas pendidikan yang baik. Salah satunya dengan mulai banyaknya universitas dunia membuka program kuliah berbasis online.

Kemajuan zaman yang sudah memasuki era digital, bukan tidak mungkin jika kuliah online nantinya akan menjadi tren di Indonesia ke depan. Namun jika melihat kuliah online pada situasi darurat pandemi seperti saat ini, masih banyak perguruan tinggi yang belum siap secara konsep dan teknisnya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kendala yang dapat mengganggu efektivitasnya.


Jika melihat praktiknya, model pembelajaran online di tengah pandemi Covid-19 ini, sama halnya homeschooling (sekolah rumah). Proses belajar dilakukan di rumah, bukan lingkungan sekolah. Sistem pendidikan homeschooling ini pertama kali dicetuskan pendidik asal Amerika, John Caldwell Holt pada 1960. Tujuannya untuk memberikan siswa keleluasaan lebih dalam menempuh pendidikan dan membebaskan mereka dari cara berpikir instruktif yang dikembangkan melalui sekolah formal.
Holt optimis bahwa lingkungan belajar yang luas dan menarik akan membuat siswa siap untuk belajar tanpa dipaksa atau disuruh. Mereka tidak perlu tertekan dengan keadaan, sehingga akan merasa nyaman ketika belajar di rumah sendiri. Karena pada prinsipnya, rumah menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi seseorang.

Sekolah rumah virtual menjadi pilihan homeschooling di era digital. Di Amerika semakin banyak orang tua memilih untuk menjaga anak-anak mereka di rumah dengan bersekolah online. Stainly Conty School mencatat, pendaftaran pendidikan formal keseluruhan turun 12,5 persen selama dekade terakhir. Sementara populasi homeschooling telah tumbuh sebesar 112 persen.

Di distrik tersebut diperkirakan 8.226 siswa, sementara 1.186 anak-anak lain belajar di rumah. Untuk membantu lonjakan ini, Stainly telah mengembangkan pendidikan virtual. Pusat pembelajaran virtual memungkinkan siswa untuk mengambil kursus sekolah menengah online jarak jauh sesuai kebutuhan. Mereka tidak ditekan dengan tugas selayaknya di sekolah, melainkan menyesuaikan kebutuhan dengan tetap mengambil prinsip kenyamanan di rumah belajar.

Transfer Pengetahuan Virtual 

Peralihan medium dari konvensional ke digital adalah hal yang mau tidak mau akan kita sentuh meskipun jika bukan karena paksaan akibat pandemi. Hal ini menjadi bentuk transformasi seiring dengan berkembangnya zaman. Pembelajaran di ruang kelas yang mempertemukan dosen dan mahasiswa kini telah beralih di ruang virtual. Inilah era milenial yang sarat dengan dunia yang serba online.

Ketika dilihat dari prinsip sebuah pembelajaran, kedua pihak (guru dan murid) memiliki posisi vital untuk saling berinteraksi agar terciptanya transfer pengetahuan. Untuk mencapai hal tersebut, pembelajaran harus bersifat mendasar, transendental, dan komprehensif (B Manullang & S. Mifayetty:2008).


Namun, bagaimana dengan interaksi via online? Di mana kuliah online sendiri tidaklah dapat luput dari problematika, terutama di kampus Indonesia yang belum maju dalam teknologi dan informasi serta terbentuk budaya sosial yang masih terbiasa konvensional.

Kondisi tersebut tentunya akan berpengaruh kepada proses pembelajaran online. Transfer of knowledge antara provider (pengajar) dan receiver (pelajar) tidak dapat berjalan efekif. Dengan ini, maka dibutuhkan proses adaptasi dengan dunia digital terlebih dahulu. Pasalnya bagaimana proses transfer of knowledge dapat berjalan jika keduanya belum bisa menggunakan sistem pembelajaran dalam bentuk virtual? Bias.

Pada dasarnya, transfer pengetahuan sama dengan proses komunikasi. Terjadi dialog intensif antara pendidik dan pelajar. Interaksi tersebutlah yang akan membawa kepada ruang dialektika. Seorang pendidik memberikan materi sedangkan pelajar memahami materi dengan baik. Dan transfer pengetahuan akan komunikatif bila unsur-unsur yang membentuknya terpenuhi dengan baik.
Efektivitas pembelajaran tercermin dari konstribusi masing-masing pihak yang terlibat, yaitu pendidik sebagai fasilitator pembelajara serta kemampuan dan motivasi belajar yang dimiliki seorang pelajar. Tidak luput dari penggunaan fasilitas yang bisa memperlancar proses pembelajaran (A Surachim : 2016).

Melaksanakan transfer pengetahuan perlu dipikirkan metode pembelajaran yang tepat (Sumiati dan Asra:2009). Ketepatan penggunaan metode tergantung pada kesesuaian materi pembelajaran, kemampuan pendidik, kondisi pelajar, sumber atau fasilitas, situasi dan kondisi dan waktu. Tidak asal-asalan dan perlu perencanaan yang matang serta mengetahui efek dari tiap metode yang dipakai.
Pengakuan mahasiswa IAIN Jember Wildan Rofilil Anwar, yang sedang berproses kuliah online, mengaku, saat diberi pertanyaan di grup kuliah, terdapat mahasiswa lain (temannya) mengopi paste jawaban dari internet. Jelas, ini sangat tidak menunjukkan intelektualitas mahasiswa. Bahkan masuk dalam kategori kejahatan intelektual, hasilnya akademisi akan semakin buruk (Nuonline, 16/03).
Dalam buku Teknik Diskusi Berkelompok terbitan Kanisius mengungkapkan, terdapat tiga perintah utama dalam diskusi berdasarkan azasi. Pertama, mendengarkan pembicara dengan seksama. Kedua, ikut menanggapi materi dengan mengemukakan argumen. Terakhir, janganlah fokus atau memikirkan hal lain. Jika ketiga hal tersebut dapat terpenuhi, terciptalah implementasi transfer of knowledge yang ideal.


Sistem pembelajaran yang ideal akan berdampak pada mutu pendidikan itu sendiri, yakni adanya perubahan karakter. Proses transformasi nilai berdampak pada kehidupan, dalam artian moralitas kebijaksanaan dijunjung tinggi ketika hendak melakukan sesuatu. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan transformasi nilai yang terintegrasi menjadi karakter (kepribadian). Mereka yang berkarakter cenderung menampakkan perilaku normatif yang semakin lebih baik. Bagaimana dengan kuliah online di kampusmu? Yes or Not?

Kompensasi Akibat Pandemi

Physical distancng yang diterapkan sebagai langkah untuk memutus rantai penyebaran Covid- 19 menyebabkan masyarakat kesulitan dalam mendapatkan peghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Melihat hal tersebut, sejumlah kampus berupaya memberikan kompensasi atau bantuan kepada mahasiswa. Bahkan Kemenag melalui surat edaran yang dikeluarkan pada (06/04) lalu, menginstruksikan seluruh pimpinan PTKIN untuk memberikan kompensasi pengurangan uang kuliah tunggal (UKT) sebesar 10 persen agar mahasiswa tidak terbebani dengan biaya pembayaran tersebut. 

Tidak hanya UKT, perguruan tinggi juga memberikan beraneka ragam bantuan. Misalnya UIN Walisongo yang menawarkan gratis paket data internet bagi mahasiswanya agar tidak mengeluarkan banyak uang untuk membeli kuota yang akan digunakan untuk kuliah online. Dengan menggandeng perusahaan penyedia jasa telekomunikasi Indosat, UIN Walisongo memberikan paket data gratis sebesar 30 GB yang bisa didapatkan dengan cara mengaktikan paket belajar di rumah melalui myIM3. Selain itu, kampus juga memberikan sumbangan berupa sembako kepada mahasiswa yang belum pulang ke kampung halamannya di masa pandemi Covid- 19 ini.


Namun kompensasi yang diberikan kampus tersebut tidak lepas dari kritik mahasiswa. Pasalnya bentuk keringanan yang dilakukan dirasa tidak menyeluruh dan kurang tepat sasaran. Siti Ropiah mengaku bahwa ia tidak menikmati gratis kuota yang diberikan oleh kampus karena jaringan Indosat di daerahnya amat susah, sehingga ia memakai kartu yang lain. “Pihak kampus seharusnya memberikan kuota gratis ke seluruh kartu, bukan hanya indosat,” katanya.


Sementara itu, pemberian sembako juga dinilai kurang maksimal karena masih ada mahasiswa yang belum mendapatkan sembako. Fahmi Akbaril, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi mengaku tidak mendapatkan sembako meskipun ia sudah melakukan pendaftaran yang dikoordinir pihak fakultas. “Hanya beberapa yang dapat, padahal saya sudah mengisi data diri ke fakultas,” ujar Fahmi. 
Lain hal dengan UIN Walisongo, UGM memberikan bantuan logistik kepada mahasiswanya yang masih bertahan di area kampus. Direktur Kemahasiswaan UGM, Suharyadi mengungkapkan, bantuan akan diberikan selama masa pandemi Covid- 19 sampai perkuliahan kembali normal. ‘’Kami rencanakan sampai dengan waktu kuliah aktif. Setiap mahasiswa akan menerima beberapa kali logistik selama yang bersangkutan tetap di Jogja,’’ katanya (Harianjogja, 02/04).

Firman Hardianto, mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi, berharap agar kampus UIN Walisongo tetap memberikan bantuan dan fasilitas kepada mahasiswa sampai situasi ini berakhir, termasuk semester selanjutnya. 

Ia menyebutkan pihak kampus harus mengurangi biaya UKT mahasiswa sebesar minimal 10 persen, sesuai instruksi dari Kemenag. Bagi Firman, kampus juga harus memberikan fasilitas kuota internet gratis untuk semua operator, tidak hanya Indosat. Sementara mahasiswa yang masih tidak pulang kampung, menurutnya, harus mendapatkan bantuan dari kampus. 

Problematika kuliah online yang sedang dihadapi ini tampaknya juga masih ditemui win win solution antara mahasiswa yang merasa rugi dan berat menjalani dengan pihak otoritas terkait. Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) PTKIN se- Indonesia merespon hal tersebut melalui Surat Terbuka yang beredar pada (23/04). Perkuliahan online yang ada di kampus Islam masih sarat akan perbaikan sistem karena mahasiswa merasa tidak menemukan adanya konsep jelas perkuliahan Corona ini. 

Dalam surat tersebut, DEMA PTKIN se- Indonesia menuntut dan mendorong Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) dan Kemenag untuk merumuskan panduan sistem akademik dan non akademik di lingkungan kampus PTKIN dan menetapkannya menjadi peraturan Menteri Agama. DEMA PTKIN juga tak luput untuk menuntut adanya kompensasi berupa pemotongan UKT semester ganjil 2020/2021 dari perguruan tinggi yang ada, karena sudah tiga bulan mahasiswa tidak menikmati fasilitas kampus pada semester genap 2020. (Surat Terbuka DEMA PTKIN se- Indonesia cek di sini)


Perihal UKT, pihak Kemenag telah membuat kebijakan baru dengan membatalkan rencana pemotongan UKT mahasiswa di kampus PTKIN, (23/04). Pelaksana Tugas Dirjen Pendis Kemenag, Kamaruddin Amin mengatakan, penyebab pembatalan tersebut karena adanya pemangkasan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk Kemenag sebesar Rp. 2,2 triliun.

Baca Juga: Mahasiswa Merasa Dirugikan Kemenag Batalkan Diskon UKT PTKIN
Keputusan Kemenag untuk membatalkan rencana pemotongan UKT mahasiswa PTKIN mendapat tanggapan dari pengamat pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Mustafa. Ia menyayangkan pembatalan kebijakan diskon UKT tersebut. “Kemenag mungkin masih bisa merevisi anggaran internal Pendis agar UKT bisa dikurangi,” ujarnya. Namun jika anggaran Kemenag memang sudah mentok, Mustafa menyarankan agar setiap kampus bisa menggunakan Dana Layanan Umum untuk memotong UKT mahasiswanya.

Sementara itu, mahasiswa merasa dirugikan dengan adanya pembatalan pemotongan UKT oleh Kemenag. Muhammad Hanafi, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo mengatakan bahwa keputusan pengurangan UKT seharusnya dipertimbangkan dan dipersiapkan dengan matang, agar tidak terjadi pembatalan kebijakan seperti ini. 

“Bukan hanya saya, ribuan mahasiswa lain juga pasti akan merasa kecewa. Seharusnya rencana pemotongan UKT itu bisa dipertimbangkan lagi. Mengingat mahasiswa tidak dapat menikmati fasilitas dan layanan kampus,” tuturnya kepada kru IDEAPERS.COM, (26/04).   
Baca Juga: Mengurai Benang Kusut UKT UIN Walisongo

What’s Next?


Dunia nyata sangat dapat dialihkan ke dunia digital. Hal ini dapat dilihat dari praktik yang saat ini sudah terjadi. Misalnya kuliah online yang terjadi meskipun karena paksaan pandemi virus corona. Melihat hal itu, bukan tidak mungkin jika kuliah online nanti akan menjadi budaya pendidikan di Indonesia. Mengingat, beberapa universitas di Indonesia juga sudah ada yang menerapkan kuliah online sejak lama, sebelum adanya virus corona.

UGM menjadi salah satu universitas terbaik di Indonesia yang memiliki banyak peminat. Namun UGM menyadari para calon mahasiswa baru sering terhambat masalah biaya, letak geografis, dan masalah lainnya. Mengatasi hal itu UGM juga membuka program penawaran kuliah online untuk memudahkan seseoarang dalam meraih pendidikan dengan meluncurkan program eLISA (eLearning System for Academic Community).

Tidak hanya UGM, Universitas Indonesia (UI) juga menyelenggarakan perkuliahan online yang telah mulai pada tahun 2002. Kuliah online UI merupakan salah satu program perolehan kredit (credit e-learning), di mana mahasiswa dapat mengambil satu atau beberapa mata kuliah secara online. Mahasiswa  juga dapat memperoleh sertifikat atau transkrip bila telah memenuhi evaluasi hasil pembelajaran dan dinyatakan lulus mata kuliah yang bersangkutan.

Tidak menutup kemungkinan jika kampus-kampus lain juga akan menerapkan pola yang sama. Mengingat zaman sudah semakin modern. Semua hal dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi. Namun melihat yang terjadi kini sejumlah kampus yang beralih ke sistem online sebagai solusi di masa darurat Covid- 19, kampus tidak siap untuk menerapkan pola tersebut. Hal itu terbukti dengan berbagai macam kendala dan permasalahan yang disebutkan di atas.

Jika memang kuliah online menjadi tren pendidikan di Indonesia, perguruan tinggi salah satunya UIN Walisongo dan kampus PTKIN lain tetap harus mempersiapkan kebutuhan dalam menunjang akademik. Perguruan tinggi perlu melakukan kajian dan riset terlebih dahulu tentang bagaimana sistem dan metode yang nantinya akan diterapkan. Mulai dari tata kelola administrasi,  layanan akademik, metode dan pola pembelajaran, maupun kelengkapan teknis dan non teknis lainnya. Adapun yang terjadi saat ini adalah masih sebatas bentuk respon yang dapat dikatakan jauh dari kelayakan.

Penulis: Mahfud, Rahmat, Prayoga
Redaktur: Nafisah, Mahfud
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • [In Depth] Kuliah Online Mahasiswa Korban Corona

Trending Now

Iklan

iklan